Berita / Nusantara /
Sertifikasi Bisa Dipercepat Jika Petani Dapat Insentif
Jakarta, Elaeis.co - Minimnya jumlah petani sawit swadaya yang ikut proses sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) menggelitik rasa keingintahuan Dr Diana Chalil.
Perempuan energik dari Consortium Studies on Smallholder Palm Oil (CSSPO) Universitas Sumatera Utara (USU) ini lantas melakukan kajian untuk mencari tahu penyebab utama lambannya pertambahan jumlah peserta sertifikasi ISPO dari kalangan smallholder atau petani sawit swadaya.
Diana mengatakan, pemerintah menetapkan tahun 2025 sebagai batas akhir mandatory sertifikasi ISPO bagi petani.
"Akan ada satu juta pekebun atau setara dengan dua juta hektar kebun sawit rakyat di Indonesia yang akan meraih sertifikat ISPO. Jumlah itu berarti sekitar 30 persen dari total jumlah pekebun kelapa sawit di Indonesia," kata Diana Chalil dalam webinar yang diselenggarakan Sekretariat Tim Pelaksana Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN KSB), Selasa (7/12/2021).
Namun tidak mudah merealisasikan target itu. Banyak tantangan, diantaranya biaya sertifikasi yang cukup mahal, terutama bagi pekebun yang berpendapatan rendah dan dengan luas lahan yang jauh di bawah skala minimum.
"Situasi minim luas lahan dan pendapatan pekebun swadaya itu ditemui hampir di seluruh provinsi sentra kelapa sawit," jelasnya.
Kajian yang dia lakukan juga menemukan fakta masih banyak pekebun yang justru belum tahu kalau ISPO sifatnya adalah mandatory atau wajib, bukan lagi voluntari atau suka rela.
Minimnya pemahaman mengenai ISPO juga disebabkan banyaknya pekebun yang belum berkelompok. Atau kalaupun sudah berkelompok, tapi minim kegiatan sehingga ISPO tidak tersosialisasikan dengan baik.
"Untunglah pekebun yang sudah menerima sertifikat ISPO mau menyosialisasikan pentingnya sertifikasi kepada pekebun yang belum ISPO. Inisiatif ini patut disyukuri," kata Diana.
Faktor lain yang membuat petani enggan disertifikasi adalah lamanya waktu mengurus ISPO. Menurut Diana, waktu yang dibutuhkan petani untuk proses sertifikasi ISPO bisa sampai setahun.
"Itupun kalau kebunnya memiliki legalitas lahan yang jelas. Ada pula petani yang membutuhkan waktu dua bahkan tiga tahun untuk mendapatkan ISPO karena harus menuntaskan terlebih dahulu legalitas lahannya," sebutnya.
"Paling cepat itu sekitar enam bulan, yakni bagi pekebun yang sebelumnya sudah memiliki sertifikat RSPO," tambahnya.
Semua fakta itu, katanya, diperoleh dari penelitian yang dilakukan di sejumlah provinsi sentra pekerkebunan sawit seperti Riau dan Sumut. Pengumpulan data dilakukan baik melalui metode focus group discussion (FGD) maupun wawancara secara langsung ke pekebun, pengusaha sawit, pemerintah, maupun ke kementerian dan stakeholder sawit lainnya.
Untuk meningkatkan jumlah pekebun yang disertifikasi, dia menyarankan pemerintah memastikan keberterimaan ISPO di pasar dan bisa diterapkan dalam rantai pasok industri sawit.
"Petani sawit yang sudah mendapat sertifikat ISPO sebaiknya diberi insentif, seperti harga premium dari pabrik kelapa sawit (PKS) dalam setiap transaksi pembelian harga tandan buah segar (TBS)," tukasnya.
Dia juga menyarankan pemerintah melakukan uji rendemen TBS produksi pekebun sebelum dan sesudah proses pendampingan sertifikasi ISPO dan memberikan insentif untuk keberhasilan peningkatan rendemen. Menurutnya, uji rendemen dibutuhkan karena selama ini PKS menentukan secara sepihak kadar rendemen TBS petani.
"Sementara sertifikasi ISPO sendiri kita ketahui tidak secara langsung dapat meningkatkan rendemen TBS produksi petani," ujarnya.
Yang tak kalah penting adalah memudahkan birokrasi agar petani tidak apatis.
"Dibutuhkan suppoting system yang baik, mulai dari tingkat pusat sampai kabupaten. Termasuk untuk pendataan, pengurusan STDB (Surat Tanda Daftar Budidaya), Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL), maupun pengajuan dana sertifikasi," tegasnya.
Komentar Via Facebook :