Berita / Sumatera /
Sertifikasi Keberlanjutan PT Inecda Bermasalah, RSPO Sedang Investigasi
Rengat, elaeis.co - PT Inecda yang merupakan anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), terindikasi tidak mematuhi standar kriteria yang telah dibuat oleh pihak asosiasi dengan melakukan perluasan perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) seluas 207 hektar.
Padahal, hadirnya RSPO adalah menjamin anggotanya menjaga pengurangan kerusakan lingkungan terhadap penggundulan hutan, praktek industri tidak merusak atau membahayakan kawasan dalam perluasan perkebunan kelapa sawit.
Perusahan yang beroperasi di Desa Tani Makmur, Kecamatan Rengat Barat, Indragiri Hulu, Riau, tersebut terang-terangan beraktivitas dalam kawasan, terlepas dari pengawasan pihak RSPO sehingga praktek di lapangan bertolak belakang dengan ketentuan.
"Dilihat dari website askrspo.force.com, complain terhadap PT Inecda tentang dugaan pelanggaran sertifikasi RSPO sudah masuk dan sedang diproses. Saat ini proses investigasi dilakukan," kata Deputy Director RSPO Indonesia, Mahatma Windrawan Inantha, kepada elaeis.co, Kamis (10/8).
Mahatma Windrawan Inantha belum bisa memberikan penegasan secara merinci, apakah anggota RSPO diperbolehkan menggarap lahan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Akan tetapi pihak RSPO akan bekerja secara maksimal dan hasilnya akan ditentukan atau diputuskan dalam complaint panel.
Meskipun begitu, elaeis.co mencoba menelusuri anggota RSPO lainnya yang berasal dari petani swadaya dengan sertifikasi internasional, yaitu Asosiasi Karya Serumpun di Kecamatan Batang Gansal, Inhu.
"Lahan yang bisa diberikan sertifikat RSPO sesuai pengalaman kami adalah tanah yang berada dalam HPL, untuk lahan di kawasan HPK tidak bisa lolos. Kalau ada yang mujur seperti bakal di ujung tanduk nasib RSPO tersebut," terang Juliono, Ketua Karya Serumpun, saat dikonfirmasi melalui telepon seluler.
Menurutnya, Karya Serumpun telah mengantongi sertifikasi RSPO sejak tahun 2021 dengan jumlah anggota 714 petani dan luasan perkebunan kelapa sawit 1.400 hektar.
"Yang telah berlabel internasional sekitar 900 hektar dengan jumlah petani 514, sisanya kurang lebih 500 hektar saat ini dalam proses menuju sertifikasi RSPO," ungkapnya.
Terjadi perbedaan standar kriteria RSPO antara pelaku usaha besar dengan petani kecil yang berkelompok. Dimana, PT Inecda menguasai kawasan hutan dan mengelola tandan buah segar (TBS) kelapa sawitnya menjadi minyak Crude Palm Oil (CPO), serta turunannya dijual ke pasar internasional menggunakan jalur Mass Balance (MB).
Padahal, dalam ketentuan Mass Balance dapat dipahami bagi pabrik pemegang sertifikat RSPO boleh mengelola pasokan tandan buah segar (TBS) sawit yang bersumber dari masyarakat, bukan hasil kawasan hutan.
Sebelumnya, Joko Dwiyono, selaku Humas PT Inecda yang ditanya apakah korporasi sengaja melanggar peraturan RSPO sehingga areal kawasan itu tetap dikuasai dan hasil panen diolah pada pabrik yang sama, ia berucap: "Saya no comment, Pak," jawab Joko singkat kepada elaeis.co.
Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh manajemen perusahaan dari bidang legal PT Inecda, Muchlisin, baru-baru ini. Ia memilih diam ketika beberapa pertanyaan tentang kawasan hutan yang dikuasi korporasi, padahal telah dikeluarkan dari izin HGU, serta sertifikasi RSPO.
Berdasarkan pengajuan perpanjangan izin HGU PT Inecda yang dikantongi eleis.co, dengan nomor 29/HGU/KEM-ATR/BPN/IV/2021, sekitar 500 hektar dikeluarkan dari luasan pengajuan lahan 6.322 hektar oleh korporasi pada November 2018, sehingga izin HGU yang diputuskan Menteri Agraria dan Tata Ruang untuk PT Inecda adalah 5.743 hektar.
Pengurangan itu tejadi lantaran yang 500 hektar tadi dianggap bermasalah, terdiri dari 207 hektar berada dalam kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), 50 hektar berada pada kawasan lindung resapan air, 90 hektar dikuasai masyarakat, 217 overlap dengan HGU nomor 19 tahun 2000, dan 12 hektar berada pada areal sungai.
Komentar Via Facebook :