Berita / Bisnis /
Setelah SBE Menjadi Limbah Non-B3
Jakarta, elaeis.co - Mulai bulan lalu, soal limbah Spent Bleaching Earth (SBE) yang bersumber dari pemurnian minyak sawit baik di Malaysia maupun Indonesia, aturan mainnya sudah sama.
Ini terjadi lantaran Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sudah mengkategorikan bahwa SBE adalah limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Ini berarti, sejak saat itu pula biaya produksi pengolahan CPO menjadi Refined Minyak Sawit atau hewani di Indonesia yang tadinya berkisar 4%-5% lebih tinggi ketimbang Malaysia, sekarang sudah apple to apple, persaingan usaha menjadi kompetitif.
Dan lantaran SBE itu kini disebut limbah Non-B3, beban mental pengusaha menjadi hilang dan gairah investasi kembali muncul.
Saat ini, refinery pemurnian minyak sawit di Indonesia mencapai 90 unit, regulasi PP22/2021 tadi pun memicu adrenalin investor untuk segera melakukan investasi.
Investor akan mendirikan sekitar 20 unit Solvent Extraction Plant di 9 zona industri pengolahan minyak sawit.
Kalau dihitung-hitung, besaran investasi yang akan mengucur untuk itu berkisar Rp1,5 triliun hingga Rp1,8 triliun. Jumlah employment di berbagai daerah juga akan berkembang demi mengoperasikan industri pengolahan SBE itu.
Kepada elaeis.co Selasa (16/3), Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga cerita, dari dulu limbah SBE Malaysia --- yang juga bersumber dari sawit --- hanya digolongkan sebagai Schedule Waste.
Artinya, SBE itu diolah lebih dulu seperti cara orang di Amerika maupun Eropa mengolah SBE minyak jagung, rapeseed oil, soybean atau sunflower oil nya, baru dijadikan land fill atau yang lain.
"Lantaran di Malaysia SBE bukan B3, pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan, enggak perlu pakai ijin dari Malaysian Environmental Quality (MEQ). Kalau di Indonesia MEQ itu sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK)," katanya.
Di Amerika maupun Eropa kata Sahat, SBE nya banyak mengandung ikatan karbon rangkap dan mudah teroksidasi lantaran berasal dari pemurnian minyak jagung, rapeseed oil, soybean atau sunflower oil (banyak mengandung unsaturated fatty acid yang mudah menyala).
Tapi SBE semacam itu malah hanya dimasukkan dalam kategori Hazardeous Waste-flameable category. Limbah ini cukup ditimbun (land fill) di lokasi tak berpenduduk dan tidak ter-expose ke udara/oksidasi, karakter unsaturated fatty acid nya mudah menyala.
Karakter ini berbeda jauh dengan minyak sawit yang akan baru menyala jika sudah pada temperatur 180 derajat Celsius.
Komentar Via Facebook :