Berita / Iptek /
Tandan Kosong Sawit Bisa Diolah Jadi Bahan Bakar Hingga Ragi Kering Pengembang Roti
Bandung, elaeis.co - Pengurangan penggunaan bahan bakar fosil dan peningkatan pemanfaatan energi terbarukan menjadi langkah penting dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Salah satu contoh keberhasilan upaya ini adalah program Proalcool di Brasil di mana 92% kendaraan sudah menggunakan bahan bakar etanol.
Di Indonesia, penerapan biodiesel juga mulai berkembang seiring dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2006 yang mendukung penggunaan biodiesel pada kendaraan bermotor. Produksi biodiesel di Indonesia mengalami peningkatan pesat, mencapai 12,7 juta kiloliter pada tahun 2023.
Upaya pemerintah memberikan insentif kepada produsen biodiesel untuk menutup selisih harga antara biodiesel dan minyak solar merupakan langkah cerdas dalam memperluas penggunaannya.
Namun pemanfaatan bahan bakar terbarukan memunculkan masalah baru, yaitu sumber pangan dipakai sebagai bahan baku energi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan berkurangnya pasokan pangan yang dibutuhkan oleh manusia. Oleh karena itu, diperlukan alternatif bahan baku lain yang dapat dijadikan bahan bakar terbarukan tanpa mengorbankan keberlangsungan pasokan pangan.
Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Dr. Ronny Purwadi dari Fakultas Teknologi industri (FTI) lantas menawarkan lignoselulosa sebagai bahan baku alternatif.
Lignoselulosa adalah bahan yang melimpah dan tersebar luas di seluruh dunia dalam bentuk dinding sel tanaman, yang dapat diperoleh dari berbagai limbah. Seperti limbah industri, perkebunan, hingga pertanian.
"Pada tahun 2023, Indonesia memproduksi sekitar 48 juta ton minyak sawit mentah (CPO) yang meninggalkan sekitar 120 juta ton limbah berupa tandan kosong sawit yang merupakan sumber lignoselulosa. Selain itu, sumber lignoselulosa lainnya termasuk bongkol jagung, jerami padi, dan limbah dari industri kayu," sebutnya dalam keterangan resmi Humas ITB dikutip Selasa (12/11).
Lignoselulosa adalah sebuah material kompleks yang terdiri atas tiga komponen utama, yaitu hemiselulosa, selulosa, dan lignin.
“Potensi lignoselulosa di Indonesia sangatlah besar. Padi adalah sumber lignoselulosa terbesar. Namun, padi terdapat di sawah sehingga membutuhkan ongkos utilisasi yang sangat besar. Lain halnya dengan tandan kosong sawit yang sudah terkumpul di pabrik dan tinggal dimanfaatkan saja,” paparnya.
Pengembangan proses pengolahan lignoselulosa di ITB diawali dengan kerja sama antara Program Studi Teknik Kimia dengan PT. Rekayasa Industri, dengan tujuan utamanya yaitu menciptakan sebuah lisensi proses pengolahan bahan lignoselulosa menjadi etanol sebagai bahan bakar.
Pengalaman dan ilmu yang telah didapatkan selama proses uji coba kemudian diterapkan dalam pabrik fraksionasi lignoselulosa. Pabrik ini merupakan hasil kerja sama antara ITB, PT. Rekayasa Industri, dan Balai Besar Standarisasi Pelayanan Jasa Industri Agro Kemenperin RI. Pabrik ini diresmikan pada 8 Agustus 2024 lalu.
Pabrik ini merupakan buah dari perjalanan kerja sama penelitian yang panjang. Berbagai detail permasalahan masih harus diselesaikan, serta bagaimana implementasi teknologi ini pada skala komersial.
Berbagai produk turunan lignoselulosa yang dapat dihasilkan meliputi bioetanol sebagai bahan bakar terbarukan, biobutanol yang berfungsi sebagai pelarut dan bahan bakar terbarukan, ragi kering sebagai pengembang roti dan bahan tambahan pangan, serta asam sitrat yang digunakan sebagai aditif pangan.
"Kesimpulannya, Indonesia memiliki potensi besar dalam pemanfaatan lignoselulosa dari sektor perkebunan dan pertanian, yang dapat diubah menjadi berbagai produk bernilai tinggi," tukasnya.
Dengan memanfaatkan lignoselulosa sebagai sumber bahan bakar, katanya, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, meningkatkan daya saing industri hijau, serta menciptakan lapangan kerja baru.
"Selain itu, pengembangan ekonomi sirkular dan kemakmuran bangsa akan semakin terdukung. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengembangkan bahan bakar dari lignoselulosa agar Indonesia tidak tertinggal. Peran pemerintah dalam menciptakan regulasi yang mendukung percepatan pengembangan ini juga menjadi faktor kunci," pungkasnya.
Komentar Via Facebook :