Berita / Nusantara /
Tentang Nasib Petani Sawit
Pekanbaru, elaeis.co - Beberapa hari belakangan Whatsapp Group Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPD-Apkasindo) se-Indonesia ramai oleh keluhan melantainya harga Tandan Buah Segar (TBS).
Dari Pesisir Selatan Sumatera Barat misalnya, untuk tanggal 18 Juni 2019, harga TBS non kemitraan anjlok lagi dari yang tadinya Rp860 perkilogram, menjadi Rp825 perkilogram.
Lalu di Aceh Timur Provinsi Aceh, harga perkilogram TBS sudah di angka Rp900. Sementara di Belitung Provinsi Bangka Belitung, harga TBS di kisaran Rp800-Rp900 perkilogram.
Beda dengan di Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu yang harga TBS petani masih di atas angka Rp1000 perkilogram.
Lalu muncul pertanyaan kenapa harga menjadi gonjang-ganjing seperti ini disaat pemerintah melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1 Tahun 2018 sudah membikin aturan yang jelimet tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian TBS Produksi Pekebun.
Bahwa di pasal 5 disebutkan, Bupati Wali Kota atau Gubernur memfasilitasi terbentuknya kelembagaan pekebun yang berasal dari pekebun swasta. Ini berarti kepala daerah wajib membikin kelembagaan petani swadaya supaya bisa bermitra dengan perusahaan pekebun.
Lalu pada pasal 6 disebutkan bahwa harga pembelian TBS ditetapkan oleh gubernur yang dibantu oleh tim penetapan harga. Tim semacam ini tentu sudah ada di 22 provinsi di Indonesia yang punya perkebunan kelapa sawit. Terus soal rumus perhitungan harga pembelian TBS pun sama. Lalu kenapa harga selalu gonjang-ganjing?
Bisa jadi lantaran ada aturan yang tidak tertulis di Pabrik Kelapa Sawit, yang kemudian membikin harga TBS tidak bisa digenjot sesuai harga bersama yang sudah ditetapkan. Misalnya setoran-setoran siluman yang musti rutin digelontorkan oleh PKS kepada sederet oknum.
Hanya saja asumsi ini masih bisa dimentahkan lantaran Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Riau menyebut bahwa saban hari ada Rp45,5 juta duit petani yang leong begitu saja di PKS.
Hitung-hitungannya begitu. Adalah PKS berkapasitas 60 ton perjam. PKS ini diasumsikan bekerja 20 jam sehari. Ini berarti kebutuhan PKS tadi dalam sehari adalah 1,2 juta kilogram.
Jika dari total kebutuhan PKS tadi, 45 persennya dipasok oleh petani mandiri, swadaya atau non mitra, maka sawit petani seperti tadi yang masuk PKS mencapai 540 ribu kilogram.
Di PKS, ada yang namanya potongan. Anggap saja potongan itu 6 persen. Maka saban hari sawit petani yang leong mencapai 32.400 kilogram. Jumlah ini kalau diduitkan mencapai Rp45,5 juta.
Duit segini sebenarnya lebih dari cukup untuk entertain PKS, membayar setoran-setoran siluman yang lumrah terjadi di negeri ini. Lagi-lagi pertanyaannya, kok harga masih tetap menukik kalau potongan 6 persen itu saja sudah menghasilkan duit sebanyak itu?
Tapi hitungan kerugian petani tadi masih untuk satu PKS lho. Sementara di Riau sendiri menurut data Dinas Tanaman Pangan dan Perkebunan Provinsi Riau, hingga tahun 2015, ada 263 PKS di Riau. Ini berarti 263xRp45,5 juta = Rp11.966.500.000, duit petani yang leong saban hari! Lalu kalau dihitung di seluruh PKS yang ada di Indonesia? Alamaaakkk!
Lalu ada juga yang bilang bahwa gonjang-ganjingnya harga Crude Palm Oil (CPO) lah yang berimbas pada melantainya harga TBS.
Omongan ini juga masih tetap disangga. Sebab yang jamak diproduksi di Indonesia enggak cuma TBS, tapi masih ada 23 item lagi turunan TBS yang diproduksi lalu diekspor.
Lalu apa sebenarnya yang membikin TBS lebih doyan melantai dibanding meroket atau minimal stabil?
Yang paling patut dipertanyakan adalah sudahkah semua petani kelapa sawit tergabung dalam sebuah kelembagaan? Sebab itu tadi, tanpa kelembagaan, petani akan tetap disebut petani swadaya yang kemudian menjadi santapan empuk para tengkulak.
Dan tanpa kelembagaan, petani akan muncul sebagai perusak standar TBS seperti yang disaratkan oleh Permantan nomor 1 tahun 2018. Sebab petani swadaya bakal enggak pernah tahu kapan buah layak panen dan seperti apa pola panen.
Pertemuan Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Petani Kelapa Sawit (DPW-Apkasindo) Riau dengan Gubernur Riau, Syamsuar di rumah dinas Gubernur Riau, di kawasan jalan Diponegoro Pekanbaru, Minggu (16/6) bisa jadi boleh disebut sebagai angin segar bagi petani kelapa sawit.
Sebab Syamsuar menyebut bahwa sudah saatnya petani punya PKS. Dan sudah saatnya pula petani terlibat pada industri hilir. "Saya sangat mendukung pengusaha yang mau membikin refinery (pemurnian) untuk dijadikan biodiesel. Dan saya minta kita sudah musti kreatif. Kita harus masuk ke industri hilir," pintanya.
Omongan Syamsuar ini nyaris sama dengan apa yang dikatakan oleh mantan Dirjen Perkebunan, Prof Agus Pakpahan.
Dalam sebuah perbincangan dengan elaeis.co, tiga hari lalu, Agus mengatakan kalau industri hilir berkembang, teknologi berkembang, barulah petani jaya.
Agus mencontohkan dengan tembakau yang kemudian dijadikan rokok. Luas kebun tembakau di Indonesia kata Agus tidak sampai 1 juta hektar. Namun industri hilir tembakau ini (rokok) telah memberikan duit kepada Rp153 triliun pada 2018 dari cukai rokok.
"Ini, luas sawit Indonesia melebihi luas Negara Korea Selatan. Tapi apakah sawit seluas itu sudah mensejaheterakan petani?" Agus bertanya.
Dari sederet cerita tadi, agaknya semua yang disebut oleh Syamsuar maupun Agus Pakpahan tadi sangat bisa dilakukan oleh petani. Apalagi asosiasi petani bernama Apkasindo. Tinggal lagi, apakah Apkasindo akan menjadi pelayan petani, atau jadi manajer (lembaga yang memenej) petani?
Komentar Via Facebook :