Berita / Pojok /
Tentang UU 32 Tahun 2009 dan Boleh Membakar Lahan
Sudah tak terhitung lagi sebenarnya orang yang berurusan dengan hukum dengan alasan mereka sengaja membakar lahan di ladang mereka.
Mau luasnya setengah hektar bahkan satu hektar sekalipun, digaruk dan kemudian diproses hukum.
Di satu sisi, miris sebenarnya menengok kenyataan itu. Sebab demi menyambung hidup mereka dan ketidaktahuan mereka akan hukum, membikin mereka berurusan dengan hukum.
Dan lebih celakanya lagi, kepala desa setempat, tidak mau tahu dengan nasib masyarakatnya itu.
Memang, di Pasal 69 ayat 1 huruf h Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan Dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.
Namun di pasal 2 dikatakan pula bahwa Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.
Dan di penjelasan pasal 69 ayat 2 tadi disebutkan; Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
Kalau kita simak pasal dan pejelasan tadi, negara sebenarnya membolehkan masyarakat membakar lahan maksimal dua hektar. Tentu dengan aturan main yang disebutkan tadi pula.
Dan kalau aturan main itu dijalankan, lalu dibikin semacam jadwal membakar, saya pikir aturan main ini akan berjalan lancar.
Sebab teramat sulit bagi masyarakat untuk merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk mengelolah lahannya yang cuma dua hektar. Demi tidak membakar mereka harus menyewa alat berat untuk stacking.
Tapi teramat sulit orang yang kebetulan punya kekuasaan memahami ini, makanya diambil saja jalan pintas bahwa siapa yang membakar; TANGKAP dan PROSES!
Kalaulah larangan tadi benar-benar tegas, sebaiknya tidak perlu ada embel-embel ngaret dengan boleh dan asal. Bikin saja DILARANG! Sudah!
Namun negara juga tidak boleh memaksakan kehendak sendiri. Kalau ada aturan main tidak boleh membakar lahan untuk membuka ladang, negara musti menyiapkan alat berat gratis bagi masyarakat, supaya ladangnya bisa dibersihkan.
Bukan cuma melarang tanpa ada solusi. Sebab kesejahteraan rakyat adalah tanggungjawab negara. Kapan rakyat akan sejahtera jika untuk mengelolah ladangnya saja harus menguras duit banyak?
Kalau kita menyoal pembakaran lahan yang menyebabkan udara dicemari asap, saya pikir negara juga harus fair.
Di Riau saja misalnya, ada sekitar 400 Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang saban saat menyemburkan asap hitam hingga asab keabu-abuan.
Saya tidak sampai pada menghitung volume asap yang dimuntahkan oleh cerobong PKS itu, tapi logika sederhana saja, jika satu PKS dengan cerobong hampir satu meter memuntahkan asap selama 5-10 menit, sudah berapa banyak volume asap yang mengotori udara. Lalu bandingkan dengan asap yang dihasilkan oleh dua hektar lahan.
So, ada baiknya kita lebih jernih berfikir dan kemudian berpikir berkali-kali untuk tidak langsung memenjarakan orang yang disebut membakar lahan. Sebab mereka dalam rangka melanjutkan hidup, seperti yang lain.
Dan lagi-lagi, secara tersirat undang-undang membolehkan masyarakat membakar lahan maksimal dua hektar, meski ditimpali dengan aturan tambahan prosedur pembakaran lahan.
aziz
Komentar Via Facebook :