https://www.elaeis.co

Berita / Lipsus /

Bagian 2

Tiga Anomali Dampak Sertifikasi. Semuanya Jelek!

Tiga Anomali Dampak Sertifikasi. Semuanya Jelek!

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung. foto: aziz


Banyak studi yang membuktikan kalau ternyata kebun yang bersertifikat --- penelitian ini rata-rata terkait RSPO--- tidak ada bedanya dengan yang tidak bersertifikat. 

Sudahlah cost bertambah, dalam 10 tahun terakhir produktifitas kelapa sawit justru turun dan biaya produksi naik. 

Baca juga: Cerita Sontoloyo Sertifikasi ISPO

"Apakah pandangan konsumen Eropa berubah melihat sertifikasi Indonesia yang double --- RSPO dan ISPO --- ini? Sama sekali enggak. Persepsi buruk terhadap lingkungan, malah makin buruk," kata Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI)

Malaysia kata lelaki 58 tahun ini juga sudah melakukan penelitian bahwa RSPO itu justru menaikkan emisi, merugikan ekonomi Malaysia. 

"Anehkan? Tujuannya menurunkan emisi, tapi faktanya? Makanya saya bilang sertifikasi-sertifikasi ini telah menghadirkan setidaknya tiga anomali," ungkapnya. 

Pertama, persepsi negatif makin jelek, baik dari segi kesehatan maupun lingkungan. Kedua, kalau prinsip sertifikasi itu diikuti dengan benar, mestinya produksi naik. 

Tapi yang ada, kenyataannya malah turun. Ketiga, mestinya biaya produksi makin turun, faktanya meningkat. 

"Dan satu lagi yang sangat penting, kalau memang kita konsisten pada tata kelolah, tidak mungkin kita biarkan 3,4 juta hektar sawit --- 2,8 juta hektar diantaranya milik petani ---  berada di kawasan hutan," Tungkot mengurai. 

"Kenapa ini terjadi, itu lantaran kita berfikir absolute. Mestinya kita mengadopsi arus utama pemikiran sustainability di dunia; konsep relative sustainable. Eropa, Cina, India, Amerika, menganut ini. Jangan pajago-jagohon (petentengan) absolute, diketawai dunia kita," sindirnya. 

Tungkot berharap semua pihak realistis menengok bahwa pasar minyak sawit di dunia itu beragam. Ada yang sangat menuntut sustainablity; seperti Eropa, Jepang, mungkin Amerika juga sudah meminta sustainability yang sebenarnya (lebih sustainable dari yang lain). Namun ini pasarnya hanya 10 persen.

Terus, ada juga pasar yang tidak menuntut itu. Bagi mereka, yang penting murah dan stabil. Misalnya Afrika, Bangladesh, Pakistan dan sebahagian India. Pasar ini mencapai 30 persen. Di tengah-tengah yang dua ini ada yang moderat (60 persen); pasar India dan Cina. 

"Dari gambaran di atas, sesungguhnya sertifikasi yang benar itu adalah relative sustainable. Sebab dari segi demand pasar, pasar kita menuntut yang relative," katanya.

Tungkot kemudian mengajak ke sudut pandang produsen. Kemampuan produsen menghasilkan sustainable tidak mudah. Sebab kelapa sawit tidak hanya tumbuh pada satu jenis lahan. Tapi ada di lahan mineral, ada pula di lahan gambut. 

Dari jenis lahan ini saja, pola pengusahaannya pasti berbeda. Belum lagi kelapa sawit tadi, ada sawit rakyat, korporasi dan negara. 

Di lahan mineral, ada kebun yang sudah generasi ketiga. Ini jelas sudah terlepas dari tuduhan deforestasi, tapi banyak juga yang masih generasi pertama. 

Terus di kebun, ada yang manajemennya bagus ada yang asal-asalan. Dengan kondisi seperti ini, makanya yang pas adalah relative

"Lalu gimana kita memulai agar relative? Mulailah dari Silver, Gold dan Platinum. Yang Silver, pasarnya adalah mereka yang tidak menuntut sustainable. Yang Gold tentu kepada moderat dan yang Platinum kepada mereka yang memang mau membayar mahal," Tungkot merinci.

Yang Platinum tadi, dipastikan dari kebun generasi ketiga, kebun yang sudah terbebas dari dosa deforestasi. Pola seperti ini menurut Tungkot jauh lebih fair ketimbang harus absolute

"Tapi kalau kita betul-betul absolute, maka kita harus no deforestasi, no peatland, no exsploitation dan traceability. Hhmmm…kayaknya enggak ada yang seperti ini. Yang 13 juta ton tersertifikasi itu juga enggak. Sebab ISPO tidak melarang peatland dan deforestasi," katanya. 

Lebih jauh Tungkot mengurai, undang-undang di Indonesia, tidak melarang deforestasi. Gambut kurang dari 5 meter pun masih boleh dipakai untuk pertanian. Karena ini jugalah masyarakat internasional belum yakin terhadap ISPO itu. 

Sebab menurut mereka, sudah ada yang dilanggar sejak awal; deforestasi dan peatland. Gara-gara yang seperti ini jugalah makanya RSPO akhirnya menganut mass balance. (Bersambung)


 

Komentar Via Facebook :