https://www.elaeis.co

Berita / Feature /

Tinggal 46 Bulan Lagi, Bangkrut atau Lanjut!

Tinggal 46 Bulan Lagi, Bangkrut atau Lanjut!

Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung. Foto: shot


Jakarta, elaeis.co - Sebetulnya, tak kurang lagi yang sudah dilakukan oleh Asosiasi Petani Kelapa sawit Indonesia (Apkasindo) untuk 'menggendong' petani kelapa sawitnya biar bisa menjadi petani yang berkualitas, maju dan setara dengan korporasi. 

Menuju ke sana, memetakan tipologi permasalahan petani, pertemuan virtual, Forum Group Discussion (FGD) sosialisasi di ragam media, advokasi, mengusulkan agar pemerintah mau membantu petani terkait administrasi --- Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) dan legalitas --- dilakukan.  

Hasilnya, persoalan yang dihadapi petani pada 2008 lalu seperti ketersediaan bibit, pemupukan, tata niaga Tandan Buah Segar (TBS), panen dan pasca panen, satu persatu mulai bisa ditangani. 

Belakangan, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) hadir. Kehadiran Badan Layanan Umum (BLU) Kementerian Keuangan ini benar-benar membikin banyak aktivitas Apkasindo tertolong, termasuklah sejumlah pengurus Apkasindo bisa menjadi auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), pure gara-gara peran BPDPKS. 

Tapi seiring waktu, legalitas lahan petani muncul menjadi persoalan utama, padahal di 2008, legalitas ini masih persoalan terakhir dari sederet persoalan yang dihadapi petani.

Persoalan utama ini muncul persis setelah pemerintah mewajibkan petani kelapa sawit mengantongi sertifikat ISPO pada 2025. Dengan tenggat itu, berarti, waktu yang tersisa buat petani untuk beberes, hanya 46 bulan. 

"Pertanyaannya sekarang, gimanalah petani bisa mengantongi STDB, melakukan pencatatan kegiatan agronomis, dapat harga bagus, kalau kebunnya diklaim dalam kawasan hutan. Sementara syarat untuk itu dan mendapatkan sertifikat ISPO, lahan kebun tak boleh berada dalam kawasan hutan. Inilah persoalan luar biasa yang kami hadapi sekarang. Sebab ada sekitar 6,35 juta kebun petani kami diklaim dalam kawasan hutan itu,” urai Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung, saat didapuk menjadi pembicara pada Dialog Webinar ‘Menuju Perkebunan Indonesia Berkelanjutan’, kemarin. Menteri Koordinator Perekonomian RI, Airlangga Hartarto ikut hadir dan berbicara dalam webinar itu. 
   
Apkasindo kata lelaki 48 tahun ini sama sekali tidak alergi dengan ISPO. Buktinya, disaat Peraturan Presiden tentang ISPO itu hadir akhir tahun lalu, Apkasindo sangat mendukung. Mana-mana anggotanya yang sudah bisa segera mengantongi sertifikat ISPO, langsung diurusi. Untuk ini, Apkasindo malah menggandeng lembaga surveyor terbaik dunia; Mutu Internasional. 

“Kami konsisten, kok. Buktinya saat ini sudah ada tiga KUD/Poktan yang mengantongi sertifikat ISPO, termasuklah lahan yang ditanam Pak Jokowi 2018 lalu. Ini semua full pendampingan Apkasindo dan dukungan BPDPKS. Tapi nasib petani yang luas lahannya mencapai 6,35 juta hektar tadi seperti apa?,” ayah dua anak ini bertanya. 

Jauh-jauh hari kata Gulat, Apkasindo sudah berkali-kali meminta supaya petani jangan dikasi tembok tinggi yang tak bisa dilompati. Sebab tak mudah mengurus ISPO itu. “Sampai akhir 2020 saja, baru 45% korporasi yang mengantongi sertifikat ISPO. Petani malah baru 0,21%. Padahal ISPO sudah dimulai sejak 9 tahun lalu,” katanya. 

Oleh kenyataan yang ada itulah Gulat kemudian mencoba menaksir, bahwa sampai tahun 2025, capaian ISPO pekebun paling banter 7,58% atau 522 ribu hektar. “Itupun sudah termasuk target 500 ribu hektar program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) itu,” kata auditor ISPO angkatan XVIII ini.

Peserta PSR kata kandidat doktor lingkungan Universitas Riau ini sangat mudah memenuhi syarat ISPO lantaran semua persyaratan ISPO itu ada di persyaratan PSR. “Petani peserta PSR ini memang paling siap di-ISPO kan. Tinggal pindah kamar saja,” Gulat mengibaratkan. 

Tapi yang non PSR? Sudahlah terganjal persyaratan legalitas, histori agronomi dan STDB, mereka juga didera oleh harga. Di lapangan kata Gulat, harga yang diterima petani cukup jomplang. Selisinya mencapai Rp400-Rp500 perkilogram dari harga yang ditetapkan Dinas Perkebunan setempat. 

Ke Timur Indonesia, selisih ini makin jomplang, mencapai Rp1.000 perkilogram TBS. “Gimana petani mau sustain kalau harga TBS pekebun saja selalu diobok-obok,” ujarnya.

Sekarang kata Gulat, semua tergantung pemerintah, apakah petani akan berhenti dan bangkrut setelah 46 bulan ke depan, atau lanjut! 



 

Komentar Via Facebook :