Berita / Bisnis /
Tuah Lidi Sawit
Hendra punya mimpi untuk mengekspor ‘limbah’ bernilai ekonomi dan seni itu ke Eropa.
Dalam rentang waktu yang tergolong singkat, lelaki 33 tahun ini sudah melanglang buana kemana-mana. Tak hanya ke seantoro daerah di Indonesia, tapi juga telah mampir di berbagai kawasan di Asia hingga Eropa.
Tak hanya tubuhnya, hasil kerajinan berbahan baku lidi sawit yang dia bikin bersama emak-emak dan sejumlah remaja di kampungnya, di kawasan Dusun Sepakat, Kepenghuluan Sungai Kubu Hulu, Kecamatan Kubu, Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), Provinsi Riau, itu pun sudah sampai ke Washington DC, Macau, hingga Malaysia. Malah di Strand Mall, Damansara, Kuala Lumpur, ragam kerajinan dari lidi sawit itu sudah bisa dibeli.
Ada sekitar 40 orang yang diberdayakan oleh lelaki bernama lengkap Hendra Dermawan ini untuk menghasilkan ragam produk berbahan baku lidi sawit yang sebelumnya hanya menjadi limbah di kampungnya, membusuk bersama pelepah di gawangan mati kebun sawit.
Para pekerja tadi kemudian dibagi dalam tiga cluster; hulu, menengah dan hilir. Di hulu ada 20 orang. Mereka terdiri dari petani sawit dan emak-emak pengepul. Lalu yang bertugas mengolah lidi sawit menjadi barang jadi ada 12 orang. Semuanya orang-orang yang sudah terlatih. Sisanya ditempatkan oleh Hendra sebagai marketing dan promosi.
Uniknya, kebanyakan dari kerajinan lidi sawit seperti aneka bentuk tas untuk laki-laki maupun perempuan, tempat tisue, piring, mangkok, bakul nasi hingga keranjang buah itu, dikombinasikan oleh Hendra dengan kain songket, tenunan bermotif khas Riau.
Kenyataan ini sebenarnya tidak lepas dari lika-liku perjalanan bekas Duta Bahari Nasional itu. Sebelum mendirikan Rumah Tamadun pada 2017 silam, Hendra sudah menggeluti usaha tenun songket. Tenunan yang kemudian dijadikan baju, souvenir dan Tanjak (penutup kepala khas melayu). Gara-gara jualan Tanjak ini pula, Hendra sempat didapuk menjadi Pelopor Rohil Bertanjak.
Tapi lantaran sedari kecil hingga sekarang, hidup, makan dan tinggal di lingkungan perkebunan kelapa sawit, pikiran Hendra tak lepas dari efek tanaman asal Mauritius Afrika Barat itu. Apa lagi saat menengok pelepah yang teronggok di antara pepohonan sawit yang ada.
Menurut dia, bila pelepah itu dibiarkan, lama-lama akan menjadi limbah, jadi sarang hama. Maka lama-lama ini tak baik untuk lingkungan kebun sawit. “Tapi, bagusnya diapain ya?“ magister manejemen bisnis ini memutar otak.
Lelaki ini semakin berpikir keras setelah mendengar cerita bahwa Uni Eropa telah mengkampanyekan bahwa kelapa sawit telah menjadi salah satu komoditi yang paling mencemari lingkungan. “Ini nggak bisa dibiarkan, saya akan kirim limbah ini ke mereka, biar mereka tahu kalau limbah sawit saja bisa berguna,” dia membatin.
Hendra membangun tekad seperti itu lantaran tak banyak yang bisa dia harapkan dari anak-anak muda di kampung. Sebab kebanyakan di antara mereka justru kepikiran untuk menjadi pegawai pemerintah, entah itu menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) ataupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (P3K).
Tak butuh waktu lama, tekad lelaki ini mulai mendapat titik terang. Dia mendapat orderan lidi sawit. Harganya antara Rp2500 hingga Rp3500 per kilogram. “Waktu itu harga sawit hanya Rp500 per kilogram, lebih mahal lidi ketimbang sawit. Dapat peluang seperti ini, saya kemudian mengumpulkan ibu-ibu di kampung. Alhamdullah, dari sini mereka --- ibu-ibu yang tak punya kebun sawit --- bisa mendapat penghasilan,” kenangnya.
Walau limbah tadi sudah bisa menjadi duit, Hendra tidak lantas puas. Dia kembali memutar otak, gimana caranya 1 kilogram lidi itu bisa lebih bernilai. Dari sinilah kemudian, persis tahun 2019, dia memulai usaha lidi sawit itu.
“Satu kilogram lidi bisa menghasilkan 7 buah piring lidi. Bila satu piring lidi harganya Rp5000, ini berarti satu kilogram lidi sudah menjadi Rp35 ribu,” tertawa Hendra saat berbincang dengan Elaeis Media Group.
Meski sudah bisa menghasilkan produk yang lebih memiliki harga, Hendra tetap saja terus berusaha lebih inovatif. Upaya ini dia kolaborasikan pula dengan mengikuti pelatihan ke sana sini.
Dari pelatihan, ide-ide lain bermunculan. Apalagi setelah dua tahun kemudian dia berkenalan dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), kiprah Hendra semakin meluas. Sebab BPDPKS kemudian mengajak Hendra pameran kemana-mana. Hendra terbang ke Jakarta, Lampung, Batam bahkan ke Kuala Lumpur membawa nama Asosiasi Petani Sawitku Masa Depanku (SAMADE).
“Saya sangat terbantu oleh BPDPKS. Selain mendapat banyak relasi, produk-produk saya juga terpromosikan. Orang-orang, baik di daerah maupun pusat, semakin tahu dengan produk saya. Gara-gara ini pula akhirnya saya mendapat banyak undangan untuk menjadi narasumber,” ujarnya...
Selengkapnya baca di Elaeis Magazine edisi September 2024
Komentar Via Facebook :