https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Tungkot Sipayung: Petani Sawit Itu 'Anak Tiri' Yang Berbakti, Jangan Bikin Mereka Marah

Tungkot Sipayung: Petani Sawit Itu

Founder dan Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), DR. Ir. Tungkot Sipayung. Foto: Ist


Jakarta, elaeis.co - Founder dan Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), DR. Ir. Tungkot Sipayung menyebut bahwa sawit rakyat itu; anak tiri yang baik hati. 

"Kebaikan pertamanya, kontribusi petani sawit dalam ekspor sawit Nasional mencapai 41 persen. Tahun lalu ada sekitar USD9 miliar kontribusi petani sawit," ujar lelaki 55 tahun ini kepada elaeis.co tadi siang.

Duit itu kata Ketua Tim Lintas Kementerian dan Asosiasi Penyusunan Roadmap Industri Sawit Indonesia ini berasal dari pendapatan pemerintah  dari ekspor sawit tahun 2020 yang mencapai lebih dari USD20 miliar. 

"Kebaikan kedua, sawit rakyat menyumbang dana pungutan sekitar 41 persen. Kalau misalnya Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menghimpun dana Rp15 triliun, 41 persennya berasal dari sawit rakyat," rinci Dosen Pascasarjana Universitas Tri Sakti ini.

Kebaikan ketiga, petani sawit selalu  menyelesaikan persoalan sendiri, mereka juga mampu menciptakan lapangan kerja bagi orang lain, ini berarti mereka berjasa mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan. 

"Semua itu dilakukan petani sawit tanpa subsidi pemerintah. Tidak seperti padi sawah dan yang lain yang disbusidi pemerintah sampai Rp33 triliun setahun. Sudahlah disubsidi, tak bangkit-bangkit pula," katanya. 

Hanya saja, walau prestasi petani sawit sudah segitu kata Tungkot, tetap saja mereka menjadi anak tiri. 

"Kebijakan pemerintah tak pernah berpihak kepada petani sawit. Di saat mereka berinisiatif membangun kebun sawit sendiri, dituduh pula berada di kawasan hutan, merambah hutan," ujar Tungkot. 

Mestinya kata Tungkot, pemerintah menyediakan lahan bagi petani sawit, tapi itu tidak dilakukan, pemerintah lalai melakukan tugasnya. 

Ironisnya kata Tungkot, di saat pengusaha sesuka hati mengambil hutan jutaan hektar, giliran petani yang hanya punya 5-10 hektar, langsung dipersoalkan. Mereka dituduh merambah hutan. "Mereka diperlakukan sebagai anak tiri," katanya.

Celakanya lagi, saat petani sawit dituduh berada dikawasan hutan, mereka diwajibkan pula punya sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). 

"Petani mau saja mengurus itu, tapi pemerintah selesaikan dulu pekerjaannya. Berikan lahan kepada mereka, selesaikan legalitas lahan yang dipersoalkan itu. Sebab hanya pemerintah yang bisa menyelesaikan, enggak ada yang lain," ujarnya. 

Tungkot berterimakasih kepada Presiden Jokowi yang mengakui kontribusi industri sawit, sebab dengan begitu, Jokowi juga mengakui kontribusi sawit rakyat. 

"Tapi mohon juga ditegur para menterinya untuk tidak diskriminatif kepada sawit rakyat itu. Kalau tidak bisa membantu apalagi mensubsidi, ya mbok jangan menyusahilah," pintanya.

Tungkot kemudian mengulas situasi ekonomi di masa pandemi. "Petani sawit telah membuktikan dirinya bukan petani kaleng-kaleng. Mereka bisa survive,tidak ada yang meminta-minta. Lihat yang di kota, berapa puluh triliun rupiah bantuan buat mereka?" Tungkot mengurai.

Oleh sederet cerita tadi, Tungkot meminta supaya petani sawit jangan dijadikan anak tiri. Kebaikan yang sudah dibuat, justru sangat pantas mereka disebut anak paling berbakti. 

NGO juga kata Tungkot jangan menyusahi petani sawit. Hidup mereka bukan untuk kaya raya, tapi hanya berusaha supaya anak-anaknya menjadi generasi yang lebih baik dari orangtuanya. 

"NGO, bantulah petani sawit menyelesaikan legalitas lahannya, jangan justru memperkeruh suasana dengan membikin aturan-aturan yang menyulitkan petani sawit," pintanya. 

Terkait Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) kata Tungkot, tujuannya mulia, menyelesaikan persoalan, termasuk persoalan petani. 

"Tapi jangan dibikin Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menyulitkan dan memberatkan petani, itu kualat namanya," Tungkot mengingatkan. 

Lelaki ini juga mewanti-wanti apabila masalah petani tidak diselesaikan, akan berdampak besar pada industri sawit secara keseluruhan. 

"Pasar internasional melihat bahwa di industri sawit itu ada 41 persen petani. Kalau tidak ada petani di sana, industri sawit akan habis digulung," ujarnya. 

Jadi, kalau masalah petani sawit tidak selesai kata Tungkot, apapun yang dibilang soal sawit, soal sustainable, tidak akan didengar orang. 

"Mereka akan bilang, kalian tak perduli dengan petani, kalian biarkan sawit rakyat. Di luar negeri, rakyat di bela, lho. Makanya korporasi melek jugalah dengan petani sawit ini. Sebab dengan membantu mereka, korporasi juga terbantu. Sawit akan punya nama baik di internasional," katanya. 

Tungkot memastikan kalau petani sawit rata-rata membeli lahan dan mengerjakan lahan eks Hak Pengusahaan Hutan (HPH). "Saya melihat sendiri di Kalimantan Timur (Kaltim). Semua yang diambil rakyat itu sudah semak-semak dan waktu itu belum ada informasi soal kawasan hutan," katanya. 

Lantaran itu kata Tungkot, jangan dikambing hitamkan petani itu. "Banyak pihak mencoba mencari kambing hitam soal perusak hutan. Siapa yang mau disalahkan? apakah orang kehutanan, mereka enggak mau, korporasi, terlalu besar uangnya untuk disalahkan," sindir Tungkot.

"Saya orang yang berhutang kepada petani sawit. Sebab mereka bisa mensupport banyak hal tanpa disubsidi pemerintah, tanpa meminta-minta, tanpa menyusahkan pemerintah. Jadi, jangan bikin petani sawit marah," Tungkot mengingatkan. 

Abdul Aziz


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait :