https://www.elaeis.co

Berita / Siku Kata /

Upih

Upih

Yusmar Yusuf saat berada di Puncak Gunung Ranai, Natuna, Kepri. Foto: dok. Pribadi.


Sebuah pulau di tengah Selat Melaka, berbukit tajam, jalanan landai melingkar bukit. Tahun-tahun diwarnai suasana konfrontasi dengan Malaysia.

Kenderaan lalu lalang menyerbuk aroma solar dan bensin yang khas, menerpa hidung kanak-kanak.

Benteng-benteng bersusun di depan
atau pun belakang rumah. Ada sekedar galian kubur bentuknya, ada pula bentuk huruf L.

Di kampung itu, tanaman lebat merimbun. Di antara celah rerimbun pokok kayu itu, rumah penduduk bersusun-serak tanpa mengikuti pola geometrik sebuah ruang. Seenak ke mana mau menghadap.

Pada sebatang bukit meninggi, ada kuil Hindu yang menyatu dengan lidah bukit, menghadap ke laut nan permai.

Kapal-kapal patroli berlabuh, ada yang sedang berlayar dengan buih menyembur di haluan dan buritan. Sebuah panorama bak dalam lukisan.

Setelah dewasa, saya baru sadar, bahwa panorama itu seakan di kota Edinburg Skotlandia adanya.

Dan, tak lupa sekumpulan kanak-kanak yang tak mengerti peta dunia itu, asyik bermain luncur-luncuran dan tarik-tarikan yang berpembawaan bergerak (mobile); melintas ruang-ruang dalam jarak aman, tanpa boleh masuk ke ruang pacu kenderaan umum (jalan raya).

Media atau wahana penggerak badan-badan mungil itu tak lain adalah upih pinang.

Lalu, tak sekedar bermain tanpa tema.
Karena sudah terbiasa dalam gemuruh bunyi seretan upih yang melesat di atas permukaan tanah, sesekali di atas pecahan batu, permainan dilanjut dalam tema-tema perang dan pacu.

Tema perang? Diambil dari tayangan TV negeri seberang, tema Perang Dunia II yang championnya adalah Amerika dan sekutu.

Pencundang? Sudah tentu Jerman. Tokoh utamanya adalah Vic Morrow sebagai Sersan Saunders.

Atasan beliau, datang sesekali melakukan inspeksi lapangan, General Jhonson yang amat bijak dan prabawa. Sebuah realitas masa lalu yang tak berkait dengan masa lalu yang lain…

Upih pinang sehingga kini, masih tetap akrab dalam juluran beragam jenis permainan kanak-kanak di kampung-kampung, dusun dan pemukiman di area perkebunan (termasuk sawit).

Karena kalau menunggu batang sawit mengeluarkan upih, sampai kiamat takkan lahir si upih sawit.

Maka, upih pinang, hadir dan mendatangi zaman dalam kadar “percaya diri” yang tak tergantikan.

Anak-anak selalu dan akan tetap selalu meluncur di atas lunaknya upih pinang.

Mereka berselancar ria dalam balutan debu, dalam pesing bau, yang menyuburkan kehidupan.

Celah-celah kampung menjadi riang ria dan serba ceria. Upih pinang dan permainan kanak-kanak.

Upih degan serangkaian permainan kanak-kanak itu, sekaligus menjadi medium pembentuk watak, menjadi madrasah pertemanan, pengendalian diri, menabrak sifat egoistik, belajar
bekerja sama, dan yang paling utama adalah sportivitas; ketika dalam tema pacu, maka sang pemenang pacu tetap sedia duduk di atas upih, dan si kalah harus berperan selaku penarik atau
penghela upih.

Etika kanak-kanak tersemai dalam laku perbuatan. Bukan sesuatu hafalan teks
yang ditempel pada sekeping papan pengumuman.

Etika dipraktikkan langsung dalam majelis permainan yang hanya bisa selesai ketika masing-masing dari mereka diserang lapar atau dahaga.

Upih ini sejatinya tak setakat untuk dijadikan media atau elemen permainan kanak-kanak.

Tapi, jika didatangani oleh tangan-tangan kreatif, dia akan menjelma dalam bentuk ‘penciptaan' penciptaan baru’ (khalqun jadid): mini container, seperti tas, goody bag, wadah makanan yang stylis, topi, kopiah, pembungkus jajanan seperti dodol, wajik, kueh-mueh, jenis mie, jenis lauk-pauk.

Bisa berperan pengganti rantang, atau pun botol minuman, beragam hiasan dinding, plat atau canvas seni lukis; lukisan dinding.

Bisa jadi pelapis sandaran kursi, pelapis ‘wood element’ dashboard mobil mewah, pelapis almari dan panel interior ruang keluarga dan ruang tamu.

Pun, penyangga dan helai kalender meja. Tangan-tangan kreatif ini telah berlangsung lama di negeri perajin; ada di Indonesia, Malaysia, India, Thailand yang sudah sekian lama akrab
dengan “kosmologi” upih ini.

Sifat kulitnya yang lentur dan lunak, juga memiliki aroma yang khas, membuat upih yang telah diolah memberi sensasi tersendiri bagi pemakainya.

Tampilan kulit yang cenderung reflector
(menyembur cahaya balik), jika diolah dengan detail dan finishing yang halus, piawai, bahan ini akan menghasilkan kilauan yang luar biasa.

Tinggal mempertingkatkan mutu dan branding, sehingga produk-produk berbasis bahan baku upih masuk dalam gerai-gerai ternama di mall-mall megah metropolitan dunia.

Semuanya melalui perencanaan dan desain pemasaran yang canggih. Dihampar di outlet-outlet yang dikelola oleh anak-anak milenial baik onsite maupun online.

Bisa pula dipajang sebagai hiasan pengganggu mata bagi tamu hotel-hotel berbintang, dengan penempatan di area fasade.

Ketika dia sudah mengalami ‘branding’ modern, dia pun sedang menjalani fase-fase naik klas (next level).

Ungkaian kenangan kita atas upih selaku media permainan kanak-kanak, perlahan-lahan mengalami ingsutan kreatif dan produktif.

Tampilan branding yang progresif bisa dilangsungkan melalui dunia maya, termasuk tayangan elektronik lainnya.

Pinang, tak semata yang diingat
oleh orang-orang karena buahnya, tetapi upih pinang menjadi jelmaan ‘penciptaan-penciptaan baru’ ketika diraut dan diuli oleh kemauan dan tangan kreatif.

Dalam perkebunan besar sebagai
tema utama (misal sawit), tanaman pinang biasanya menduduki posisi sebagai tanaman sela, tanaman sempadan dan penggaris tali air (parit).

Walau hanya setakat itu posisinya, pinang dengan upihnya bisa diberi ruang lebih luas untuk dikreasi menjadi produk padanan dunia.

Dia yang memajeliskan sejumlah masa kecil kanak-kanak, dia pula yang bakal menyempurnakan penampilan para sosialita modern di ruang-ruang
wangi, semarak semburan cahaya warna-warni di metropolitan dunia.

Jangan ringkus dan penjarakan upih hanya sebagai ‘nostalgia’ belaka…


 

Yusmar Yusuf
Komentar Via Facebook :