Berita / Sumatera /
Utang Jadi Alat Tengkulak Tetapkan Harga Sawit Sesukanya
Medan, Elaeis.co - Kendala yang dihadapi petani sawit swadaya sangat kompleks. Mulai dari produksi yang tak maksimal akibat bibit yang tak jelas asal-usulnya, infrastruktur yang jelek sehingga menyulitkan transportasi ke pabrik kelapa sawit (PKS), sampai terjerat utang ke tengkulak atau pengepul.
Yang paling sulit mencari obatnya adalah kendala terakhir. “Para tengkulak punya sejumlah cara untuk menjerat petani sawit swadaya agar tetap terikat pada mereka,” kata Manajer Kemitraan PT Bakrie Sumatera Plantations (BSP), Al-Harris Nasution, kepada Elaeis.co, Senin (11/10/2021).
PT BSP memiliki sejumlah kelompok tani atau poktan binaan lewat program kemitraan mandiri di Kabupaten Asahan dan Batubara, Sumatera Utara. “Diantaranya ada yang sudah ikut PSR, ada yang non-PSR. Nah, yang non-PSR inilah yang banyak terjerat tengkulak,” ungkapnya.
Para petani sawit swadaya non-PSR tersebut banyak yang terpaksa menyetor hasil panennya ke ram atau ke tengkulak untuk mencicil utang.
“Petani mandiri non-PSR umumnya susah lepas dari tengkulak karena terlanjur berutang. Misalkan produksi kebunnya rata-rata 500 kilogram per bulan, maka banyak petani sawit mandiri berani berhutang ke tengkulak hingga Rp 10 juta. Ini kami tanya sendiri ke pengepul atau tengkulak,” bebernya.
Cekikan utang membuat petani tidak berdaya ketika tengkulak menetapkan harga tandan buah segar (TBS) sawit sesuka hatinya. “Saat ini rata-rata harga buah sawit petani mandiri di tengkulak Rp 2.010 atau 2.050/kg, rata-rata di sekitaran itu harganya,” sebut Harris.
Harga itu jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan harga yang diumumkan di papan pengumuman yang ada di PKS. PKS milik PT BSP saat ini membeli TBS di atas Rp 2.200/kg. “Tengkulak memasukkan berbagai komponen biaya seperti ongkos transportasi, biaya perbaikan jalan, dan lainnya,” paparnya.
Harris mengklaim PT BSP telah mencoba mengedukasi petani sawit mandiri agar menjual TBS melalui poktan yang telah dibentuk. Tapi kehadiran poktan juga ternyata belum menyelesaikan masalah.
“Petani memang ikut bergabung jadi anggota poktan. Tapi rata-rata anggota poktan tak menyetor buah karena masih berutang ke tengkulak. Itu penjelasan dari para pengurus poktan. Pengurus tak bisa berbuat apa-apa, tak bisa mengarahkan kalau anggotanya masih terikat utang,” katanya.
Menurutnya, keterikatan petani ke tengkulak sulit diakhiri karena utang mereka dicicil sedikit demi sedikit. “Cicilannya dibuat murah supaya terjangkau. Misalnya pinjam Rp 10 juta, angsurannya cuma Rp 200.000 per bulan. Lamalah baru lunas,” tandasnya.
Komentar Via Facebook :