https://www.elaeis.co

Berita / Serba-Serbi /

Wacana Pemutihan Perkebunan Sawit dalam Kawasan Hutan Dinilai Berbahaya

Wacana Pemutihan Perkebunan Sawit dalam Kawasan Hutan Dinilai Berbahaya

Sebaran perkebunan sawit ilegal di Indonesia (foto: Pantau Gambut)


Jambi, elaeis.co - Rencana pemerintah untuk melakukan pemutihan atau pengampunan terhadap 3,3 juta hektare kebun sawit ilegal yang berada di kawasan hutan menuai reaksi. Salah satu lembaga yang fokus terhadap pendampingan praktik sawit berkelanjutan, Yayasan Setara Jambi memandang persoalan ini bisa saja berdampak buruk di masa depan.

“Menurut saya, pemutihan ini akan menutupi menghapus dosa perusahaan/pemilik izin yang jelas-jelas telah dengan sengaja melanggar aturan. Dengan pemutihan tersebut selain menutupi kesalahan masa lalu juga membuka ruang terjadinya kesalahan baru di masa akan datang, akan membuka peluang baru bagi perusahaan melakukan ekspansi di dalam kawasan,” ujar Direktur Setara, Nurbaya Zulhakim pada elaeis.co pada Jumat malam, 27 Oktober 2023.

Karena menurutnya, perusahaan sejak awal memiliki pengetahuan/mendapatkan informasi cukup tentang peraturan. “Tentu berbeda dengan petani kecil yang memiliki keterbatasan pengetahuan, informasi dan kapasitas,” katanya.

“Skema Perhutanan Sosial untuk mengatasi keterlanjuran bagi petani tentu berbeda. Petani membutuhkan dukungan pendataan/pemetaan, pengelolaan pasca izin karena kebijakan PS bukan juga hal mudah untuk diakses petani, sehingga tujuan pembinaan untuk peningkatan kesejahteraan petani menjadi tujuan yang mau dicapai dari skema ini, bukan untuk tujuan pemutihan atau penghapusan dosa,” ucapnya.

Menurutnya, karena proses terjadinya penanaman di kawasan hutan oleh petani bisa jadi memang juga sebagian karena unsur kerakusan oleh petani bermodal atau ekspansi yang dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan petani kecil.

“Atau memang karena petani-petani terdesak oleh terbatasnya lahan untuk diolah menjadi sumber penghidupannya untuk memenuhi kebutuhan normatif," tutur Baya.

Pandangan hampir senada juga dituangkan oleh Pantau Gambut, TuK Indonesia dan Greenpeace Indonesia dengan menerbitkan kertas posisi untuk menyikapi polemik kebijakan pemutihan perusahaan sawit ilegal.

“Perkebunan sawit ilegal menjamur di berbagai wilayah–termasuk di kawasan hutan yang menjadi area lindung dan konservasi–karena buruknya tata kelola oleh pemerintah, tidak adanya transparansi, dan lemahnya penegakan hukum. Bukannya memperbaiki hal tersebut, pemerintah justru melakukan pemutihan sawit ilegal di kawasan hutan. Kebijakan ini jelas tidak berpihak kepada lingkungan serta masyarakat adat dan masyarakat tempatan yang terdampak, melainkan ditengarai menguntungkan oligarki sawit di lingkaran kekuasaan,” kata Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia seperti dikutip dalam laman resmi pantau gambut.

Pada konteks ekologi, agenda pemutihan sawit ilegal yang berada di area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) akan semakin memperparah terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) beserta dampak ekologis yang menyertainya.

Pantau Gambut (2023) mengidentifikasi bahwa dari total 3,3 juta hektare luas perkebunan sawit yang hendak diputihkan pemerintah, sebesar 407.267,537 hektare (sekitar 13-14%) berada di area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), yang mana, sebanyak 72% perkebunan sawit di KHG yang akan diputihkan berada dalam kategori rentan terbakar tingkat sedang (medium risk) dan 27% berada dalam kategori rentan terbakar tingkat tinggi (high risk).

Lebih jauh, sebanyak 91,64% pemegang izin konsesi yang wajib menanggulangi dan memulihkan kerusakan ekosistem gambut akibat karhutla di kawasannya tidak ditemukan titik implementasi restorasinya di lapangan.

Wahyu Perdana (Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut) mengungkapkan bahwa berdasarkan temuan Pantau Gambut, dari 32 entitas perusahaan sawit yang beroperasi secara ilegal di area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG), hanya 5 perusahaan yang benar-benar berada di ekosistem gambut dengan fungsi budidaya, sedangkan sisa 27 (84%) perusahaan lainnya juga beroperasi di ekosistem gambut dengan fungsi lindung.

Hal ini menunjukkan adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 21 PP Nomor 71 Tahun 2014 jo. PP Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Kondisi ini meningkatkan risiko Karhutla, khususnya pada ekosistem gambut.

Komentar Via Facebook :