https://www.elaeis.co

Berita / Lingkungan /

WALHI dan Pakar Kehutanan Berbeda Soal Program KLHK

WALHI dan Pakar Kehutanan Berbeda Soal Program KLHK

Perkebunan kelapa sawit. Foto Walhi


Pekanbaru, Elaeis.co - Program Strategi Jangka Benah (SJB) yang diperkenalkan KLHK mendapat beragam komentar dapri sejumlah pihak. Pro-kontra terjadi terhadap kebijakan yang digadang-gadang dapat mengentaskan permasalahan perkebunan sawit di kawasan hutan.

Menurut pandangan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) SKB tersebut layak didukung. Sebab salah satu kebijakan yang mendorong akselerasi legalitas wilayah kelola rakyat.

"Terlebih ada skema dialogis dengan memperhatikan aspek keterlanjuran alih fungsi kawasan hutan dan rehabilitas serta pemulihan lingkungan bersama masyarakat," ujar Direktur Eksekutif WALHI Riau, Even Sembiring saat berbincang bersama Elaeis.co, Kamis (28/10).

Menurutnya, pilihan perhutanan sosial sebagai kebijakan transisi pemulihan hutan Indonesia juga diharap mampu menghentikan praktik represif terhadap keberadaan rakyat di kawasan hutan. Bahkan dapat mendorong memulihkan relasi sakral masyarakat, khususnya masyarakat adat dengan alamnya.

"Perlu juga diperhatikan secara cermat, akselerasi kebijakan perhutanan sosial ini juga harus dilakukan dengan redistribusi tanah melalui kebijakan TORA. Dua kebijakan ini prinsipnya untuk mengikis ketimpangan penguasaan ruang," imbuhnya.

Kendati demikian, terkait struktur dan fungsi ekosistem agroforestri kelapa sawit sehingga struktur dan fungsinya dapat menyerupai hutan alami, Ia menilai sebagai sebuah kekliruan. Apabila hendak mendorong agroforestri dengan tanaman campur kehutanan dengan kelapa sawit.

"Sangat berbahaya apabila menjadikan kelapa sawit sebagai salah satu komoditi yang dimungkinkan sebagai tanaman agroforestri. Terlalu sedikit jenis kayu alam dan satwa endemik yang sesuai dengan tipe kelapa sawit, terlebih pengembangannya jauh dari konsep natural farming, membahayakan ekosistem tanah sekaligis flora dan fauna lainnya," ujarnya.

"Tapi kami juga memberi kritik terkait dengan kebijakan keterlanjuran perkebunan, khususnya kelapa sawit kepada tuan tanah dan korporasi. Dari awal praktik-praktik alih fungsi kawasan hutan yang pebisinis besar semata-mata melayani keinginan serakah, mengakumulasi keuntungan tanpa memperhatikan laju kerusakan hutan dan lingkungan hidup, bahkan menggusur ruang hidup masyarakat adat dan lokal. Sehingga sangat berbeda kebutuhan mengakomodir praktik keterlanjuran yang dilakukan masyarakat dengan kebutuhan mengakomodir kepentingan pebisnis," katanya.

Berbeda pendapat dengan Even, Pakar Kehutanan DR Sadino menilai kebijakan itu adalah kebijakan yang justru memaksa masyarakat. Bahkan Ia mengatakan tidak ada program yang sukses dengan latar belakang seperti kebijakan SJB tersebut.

"Apa alasan ilmiahnya (SJB), bagaimana rakyat tertarik kalau gak ada bukti," ujarnya.

Buka hanya itu, Sadino juga mempertanyakan apakah ada lembaga keuangan yang masu masuk jika SJB itu diterapkan? Kemudian apakah kebijakan itu produktif untuk tingkat produktivitas tanaman?

"Yang sudah ada dana DR saja gagal, ini apa mau mengulang kegagalan hutan rakyat, reboisasi, hutan kemasyarakatan, dan program kehutanan lainnya? Terlebih semua wilayah disamaratakan," katanya.

"Kalau SJB top down, saya pesimis dan hasilnya kegagalan yang berulang," imbuhnya.

Menurutnya, seharusnya kajian sosial yang diutamakan untuk menyusun program seperti itu. Misalnya disesuaikan dengan paya yang ditanam masyarakat. Kemudian dapat tidaknya memberikan potensi perbaikan ekonomi keluarga. Lalu prospeknya dimasyarakat serta ketersediaan bibit dan keterjangkauan masyarakat.

"Nah ini, apa dengan tanaman agroforestry memberikan harapan yg lebih baik?" tandasnya.

Komentar Via Facebook :

Berita Terkait :