https://www.elaeis.co

Berita / Sumatera /

Warga Minta Status Lahan Seluas 377 Hektare Diperjelas

Warga Minta Status Lahan Seluas 377 Hektare Diperjelas

Pertemuan warga Kota Garo dengan Pj Bupati Kampar, Kamsol. Foto: Diskominfo Kampar


Bangkinang, elaeis.co – Beberapa perwakilan masyarakat Koto Garo, Kecamatan Tapung Hilir, didampingi Kumpulan Anak Bangsa Peduli Anak Bangsa (Kubangga) Riau menemui Pj Bupati Kampar, Riau, Dr H Kamsol.

Mereka meminta Kamsol menyelesaikan kisruh terkait lahan seluas 377 hektare yang dulunya digarap oleh kelompok tani yang terbentuk pada tahun 1982 namun belakangan digugat oleh Yayasan Madani. 

Menanggapi permintaan itu, Kamsol menyebutkan bahwa saat ini memang banyak terjadi persoalan sengketa lahan perkebunan kelapa sawit baik dengan koperasi maupun masyarakat.

"Akan tetapi ini merupakan tugas yang harus kita selesaikan bersama," katanya melalui keterangan resmi Diskominfo Kampar.

Menurutnya, sengketa lahan tidak hanya terjadi di Kampar, namun juga di sentra sawit lainnya di Indonesia. Dalam menyikapi hal tersebut, saat ini telah dibentuk Asosiasi Kabupaten Penghasil Sawit Indonesia (AKPSI) dan Kamsol dipercaya sebagai Sekretaris Jenderal-nya.

“Kita berharap semoga melalui AKPSI kita bisa melakukan mediasi dan membantu berbagai persoalan lahan yang terjadi di tengah masyarakat.” tukasnya.

Menindaklanjuti persoalaan lahan di Kota Garo itu, Kamsol menyampaikan akan membentuk Tim Teknis Terpadu dengan melibatkan TNI, Polri, dan Kejaksaan Negeri Kampar.

"Pasa dasarnya Pemkab Kampar akan terus berupaya untuk mediasi penyelesaian lahan, kalau hak masyarakat, kita perjuangan untuk masyarakat. Kalau koperasi, ada aturannya. Kita dukuk bersama menyelesaikan, mulai dari ninik mamak kemudian naik ke atas,” terangnya.

M Ridwan mewakili masyarakat menjelaskan, lahan yang disengketakan itu awalnya masuk dalam areal seluas 2.500 hektare yang digarap oleh 25 kelompok tani. Pada tahun 1996, SK untuk kelompok tani itu dikeluarkan oleh Bupati Kampar pada waktu itu.

Pemerintah menetapkan syarat, lahan itu harus sudah digarap dalam jangka waktu 3 bulan setelah SK keluar. Artinya tidak boleh dibiarkan terlantar. Untuk memenuhi syarat itu, para petani menyepakati pola bapak angkat atau Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA).

Akan tetapi setelah kebun sudah ditanami sawit, pada tahun 2015, lahan tersebut digugat oleh Yayasan Madani di PN Bangkinang. Maka keluarlah keputusan PN Bangkinang yang memerintahkan lahan seluas 377 hektare itu diserahkan kembali ke negara.

Walaupun sudah ada keputusan pengembalian lahan ke negera sejak 2015 oleh PN Bangkinang, menurut Ridwan, faktanya sampai sekarang tidak pernah dilakukan eksekusi. "Jadi SK Bupati yang dikeluarkan tahun 1996 tersebut menurut kami masih berlaku," katanya.

"Kami minta kejelasan atau kepastian agar lahan tersebut dikembalikan lagi ke masyarakat," imbuhnya.
 

Komentar Via Facebook :