https://www.elaeis.co

Berita / Feature /

Ngotot Akan Hentikan Penggunaan Minyak Sawit

'Benua Biru', Mikir Loe!

Polusi Udara di Prancis. Foto: wikipedia


Jakarta, elaeis.co - Sebetulnya, walau Uni Eropa menyetop pembelian minyak sawit yang rata-rata 8 juta ton setahun, Indonesia tidak gentar. 

Sebab walau Indonesia penghasil minyak sawit terbesar dunia, toh di dalam negeri kebutuhan sudah membludak. Bikin biodiesel, olefood dan bahkan oleokimia. 

Mandatori biodiesel saja, sudah sampai di  campuran 30%. Untuk ini, minyak sawit yang dibutuhkan sudah 7,2 juta ton. Belum lagi kalau campuran ini naik menjadi 40 atau 50. bakal lebih banyak lagi minyak sawit yang dibutuhkan. 

Ini belum termasuk untuk kebutuhan program baru lho. Misalnya untuk biohidrokarbon yang berbasis bensin super serta avtur. Jadi, enggak akan gentar lah. 

Hanya saja, penghentian penggunaan minyak sawit itu jangan sampai berakibat pada bertambahnya hutan gundul, khususnya di Benua Biru itu gara-gara harus memperluas kebun minyak nabati lainnya seperti Kedelai (Soybean), Rapa (Rapeseed) atau Bunga Matahari (Sunflower)

"Mau tak mau mereka musti memperluas kebun tanaman nabatinya. Beda kalau mereka enggak lagi memakai nabati untuk biodiesel," kata Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung saat berbincang dengan elaeis.co, tadi pagi. 

Doktor ilmu ekonomi pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menyebut, kebutuhan minyak sawit Uni Eropa untuk bahan baku biodiesel, mencapai 3 juta ton per tahun. 

Kalau produksi kedelai hanya 1/2 per hektar, ini berarti, Uni Eropa musti menambah luasan kebun kedelai sekitar 6 juta hektar.   

Penambahan luasan ini, tak hanya menggunduli hutan, tapi juga akan memperbanyak polusi pada air dan tanah. 

Sebab data Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2013 menyebut, tiap ton produksi minyak kedelai menyisakan polusi ke tanah dan air dalam bentuk residu; Nitrogen 32 kilogram, Pospat 23 kilogram dan Pestisida 23 kilogram. 

"Kalau produksi minyak kedelai digenjot 3 juta ton lagi, maka polusi tanah dan air mencapai 96 ribu ton residu Nitrogen, 69 ribu ton residu Pospat dan 69 ribu ton residu Pestisida. Ini akan sangat berbahaya bagi masa depan bumi ini," Ketua Tim Lintas Kementerian dan Asosiasi Penyusunan Roadmap Industri Sawit Indonesia khawatir. 

Tungkot tak menampik kalau tanaman kelapa sawit juga memakai Nitrogen, Posfor dan Pestisida dalam pertumbuhannya. Tapi volumenya masih jauh di bawah Soybean.  

Masih berdasarkan data FAO itu kata Tungkot, residu Nitrogen yang disisakan oleh satu ton minyak sawit hanya 5 kilogram, Pospat 2 kilogram dan Pestisida 0,4 kilogram. 

Jumlah ini juga masih jauh di bawah Rapeseed Oil yang dalam satu ton minyaknya, menyisakan residu 10 kilogram Nitrogen, 13 kilogram Pospat dan 9 kilogram Pestisida. 

Kalaupun perluasan lahan kebun kedelai itu belum terjadi kata Tungkot, toh selama ini tanaman nabati itu sudah terlalu banyak menabur penyakit kepada tanah dan air. 

Sebab saat ini saja, luas kebun kedelai dunia sudah mencapai 127 juta hektar, Rapa 35,5 juta hektar dan Bunga Matahari 27,6 juta hektar. 

Bayangkan berapa sudah residu yang ditabur tanaman ini selama berpuluh tahun! 

Sawit? Kalau ditotal sedunia, hanya 24 juta  hektar. Dari total itu, yang tumbuh di Indonesia 16,38 juta hektar. 

Walau menghasilkan residu, sawit kata Tungkot justru punya kemampuan menyerap karbon dioksida dan menghasilkan oksigen yang luar biasa.  

Hasil penelitian Robert Henson seorang ahli ekofisiologi asal Oklahoma City, Amerika Serikat, satu hektar sawit mampu menyerap karbon diokside 64,5 ton dan menghasilkan 18,7 ton oksigen. 

Sementara satu hektar Soybean hanya mampu menyerap 6,4 ton karbondioksida. 

Dari semua uraian tadi kata Tungkot, larangan penggunaan minyak sawit itu justru akan  meningkatkan polusi pada tanah dan air secara global. 

Baca juga: PASPI: Sikap Uni Eropa Bikin 6 Juta Ha Hutan Dunia Bakal Gundul Lagi

Jadi sangat terang menderang kata Tungkot bahwa kebijakan Uni Eropa melarang penggunaan minyak sawit untuk biodiesel, bukan mencegah deforestasi, tapi malah memicu deforestasi dunia yang lebih besar dan mencemari tanah dan air yang lebih besar pula. 

"Kalau larangan penggunaan sawit juga berlaku untuk pangan, maka deforestasi dan pencemaran lingkungan akan lebih besar lagi. Mestinya mereka 'mikir'," Tungkot memastikan. 

Tapi kalau Uni Eropa turut mempromosikan minyak sawit, efek ganda tak hanya dirasakan oleh Uni Eropa, tapi juga dunia. Sebab deforestasi maupun pencemaran lungkungan akan jauh berkurang. 

Terus, dengan biodiesel sawit, Uni Eropa akan bisa menurunkan emisinya secara siginifikan. Sebab data Nederland Environmental Asesment Agency (NEAA) tahun lalu menyebut bahwa emisi Uni Eropa mencapai 4,5 giga ton CO2. 

Angka ini teramat tinggi kalau dibandingkan  dengan emisi Indonesia yang hanya 0,9 giga ton CO2. 

Dengan emisi yang cuma segitu, pantaskah Indonesia dituding sebagai dalang deforestasi untuk menjadi produsen minyak sawit terbesar dunia, atau malah yang menuding itu dalang sebenarnya?



 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :