https://www.elaeis.co

Berita / Bisnis /

BK, PE, Biodiesel, Halaaahhh...Petani Sawit Juga Yang Buntung

BK, PE, Biodiesel, Halaaahhh...Petani Sawit Juga Yang Buntung

Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (Sekjen-SPKS), Mansuetus Darto Alsy Hanu. Foto: Dok. Pribadi


Jakarta, elaeis.co - Banyak orang bilang kalau struktur Pungutan Ekspor (PE) progresif yang ada pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 191 tahun 2020 itu, telah membikin harga Tandan Buah Segar (TBS) petani menjadi kian ranum. 

Sebab di situasi sekarang harga Crude Palm Oil (CPO) dunia yang mahal, pengusaha lebih memilih mengolah CPO menjadi turunan lain di dalam negeri ketimbang mengekspor. Kalaupun turunan itu diekspor, bayaran PE nya tidak semahal PE CPO yang mencapai USD255 perton. 

Nah, dengan CPO diolah di dalam negeri, investasi hilir menjadi bertambah, peluang kerja terbuka, pajak dan devisa membuncah, petani sawit sumringah lantaran harga TBS nya meroket sudah. Tengok sendirilah di Riau, harga TBS produksi tanaman berumur 10 tahun ke atas, dibanderol Rp2630 perkilogram. Harga ini berlaku hingga 1 Juni 2021.  

Gara-gara itulah makanya kalangan industri bilang, kalau ada orang bilang PE itu akan menguntungkan negara penghasil sawit lainnya, itu hanya katanya. Sebab banyak yang tak mau model pungutan seperti itu diberlakukan lantaran mereka tak mau Cuannya dipotong. Kalau tak mau cuannya dipotong, ya bikin produk hilir. Begitulah kata Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, tadi malam. 

Tapi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) justru punya hitungan lain. Di situasi sekarang, mestinya harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit petani sudah di atas Rp3500 perkilogram. 

Ini kalau merujuk pada data yang dirilis Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yang menyebut bahwa harga CPO Cif Rotterdam untuk pengiriman Juni 2021, sudah di angka USD1.240 perton dan CPKO USD1.550 perton.   

Tapi lantaran harus dipotong Pungutan Ekspor (PE) dan Bea Keluar (BK), harga bersih CPO itu cuma menjadi USD869 perton dan CPKO USD1.179 perton. Alhasil, harga TBS hanya di kisaran Rp2630 tadi. 

"Itulah makanya kami meminta PE itu direvisi. Sebab harga CPO dan CPKO itu faktor penting dalam penetapan harga TBS petani. Lantaran dikenai PE, akhirnya menggerus harga TBS petani. Waktu tarif PE USD50 perton saja, lost income petani sudah Rp124 perkilogram. Sekarang lost income itu melonjak drastis; menjadi Rp620 perkilogram," kata Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (Sekjen-SPKS), Mansuetus Darto Alsy Hanu, kepada elaeis.co tadi siang. 

Kalaupun CPO dunia mahal kata Darto, itu lantaran pengaruh musim, oleh produksi kelapa sawit yang menyusut dan pemulihan ekonomi di negara tujuan ekspor. "Bukan karena PE. Dari mana pula dasarnya PE mendongkrak harga TBS petani wong PE itu mengikuti harga CPO dunia kok," ujar Darto.

Apa yang dibilang Darto ini persis dengan alasan GAPKI dalam rilisnya akhir bulan lalu bahwa melonjaknya harga CPO lantaran banyaknya perubahan prediksi produksi oilseeds dan kenaikan produksi biodiesel dunia. Ketidakpastian tanam dan produksi oilseeds menyebabkan permintaan minyak sawit meningkat. 

Kalau kalangan industri juga mengklaim bahwa harga TBS naik lantaran adanya program biodiesel di dalam negeri kata lelaki kelahiran Kende-Flores Nusa Tenggara Timur ini, malah lebih salah lagi. 

"Model PE itu dibuat justru untuk menyokong usaha perusahan biodiesel. Sebab yang paling banyak menyedot duit PE itu ya program biodiesel itu. Tengok sajalah, dari 2015-2020, sudah Rp57,72 triliun duit yang tersedot. Kalau untuk program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), promosi dan riset, bunga duit PE itu saja sudah cukup," Darto mengurai.     

Darto mengambil contoh harga TBS petani di Malaysia yang saat ini sudah berada di kisaran angka Rp3000 perkilogram. "Di sana biodieselnya masih B5 dan itu pun dibikin bukan dari hasil PE kayak di Indonesia," ujarnya. 

Sebelum Pilpres kata Darto, harga TBS pernah terjerembab hingga ke angka Rp600 perkilogram. Petani pun meneriaki program biodiesel sampai-sampai Presiden Jokowi turun ke kebun-kebun petani sambil menyuruh bertanam jengkol atau petai. 

"Enggak lama kemudian, PE dihentikan, itu berlangsung hampir setahun. Setelah PE dihentikan, harga TBS perlahan naik," terangnya.  

Lagi-lagi Darto menyebut bahwa SPKS bukan anti PE, apa lagi biodiesel. "Tapi yang wajar-wajar sajalah. PE dengan besaran USD30 perton saja sebenarnya sudah cukup dan itu tidak akan mencederai petani," katanya. 
  
Darto tak menampik kalau banyak yang menolak revisi PE 191 itu, apalagi mereka yang menikmati PE itu. Kami maklum saja dengan penolakan itu. Tapi pakai perasaan lah," pintanya.


 

Komentar Via Facebook :