https://www.elaeis.co

Berita / Bisnis /

GIMNI: Sorry Meneer, No More Palm Oil For You From Indonesia

GIMNI: Sorry Meneer, No More Palm Oil For You From Indonesia

Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga. foto: dok. pribadi


Jakarta, elaeis.co - Kalau menengok hitung-hitungan Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) ini, tak perlu sebenarnya Uni Eropa berkoar-koar akan menyetop kiriman minyak sawit dari Indonesia. 

Apalagi penyetopan itu berbumbu alasan bahwa minyak sawit Indonesia berlumur masalah. Mulai dari deforestasi, pelanggaran HAM dan sederet tetek bengek tak sedap lainnya. 

Sebab tanpa disetop pun, kiriman minyak sawit ke Benua Biru itu akan tersetop dengan sendirinya. Bukan lantaran produksi minyak sawit Indonesia menyusut, tapi justru lantaran untuk kebutuhan dalam negeri saja, bisa-bisa akan kurang. 

Saat berbincang dengan elaeis.co jelang siang tadi, Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga merinci bahwa empat tahun lagi, persis tahun 2025, kebutuhan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) untuk B30 dalam negeri, sudah di kisaran 12,7 juta ton.

Baca juga: 'Benua Biru', Mikir Loe! 

"Terus untuk kebutuhan Biohidrokarbon semacam Bensin, kita butuh 16,5 juta ton. Kebutuhan domestik, untuk food dan oleokimia, sekitar 13,8 juta ton. Jadi, kalau ditotal, jumlahnya sudah 43 juta ton, hampir habis," rinci ayah tiga anak ini tertawa. 

Alhasil untuk memenuhi kebutuhan konco Indonesia kayak India, Pakistan, China dan Afrika Timur yang mencapai 15 juta ton, Indonesia musti mengebut realisasi program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). 

"PSR ini musti disegerakan. Apa saja yang menjadi ganjalan di PSR itu, segera beresi. Lintas kementerian bahu membahu mengantar kebun rakyat ini menjadi kebun yang sustainable. Ini demi marwah Indonesia, demi kemakmuran rakyat," ujar Ketua Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia (MBI) ini.

"Tiga tahun lagi, kita sudah bisa bilang dengan sopan kepada Uni Eropa; Sorry meneer, no more palm oil for you from Indonesia," Sahat serius. 

Lantaran Indonesia sudah bertekan untuk fokus pada intensifikasi, moratorium kata Sahat, silakan saja di pertahankan.  

Kepada para pembenci sawit, Sahat kembali mengingatkan agar berpikir ulang untuk terus mencap sawit Indonesia sebagai biang kerok deforestasi. 

Soalnya kata Sahat begini; sampai saat ini, luas kebun kelapa sawit di dunia masih hanya 24 juta hektar. 

Luasan ini enggak ada apa-apanya dibanding luas kebun kedelai (Soybean) dunia yang mencapai 127 juta hektar, Rapa (Rapeseed) 35,5 juta hektar dan Bunga Matahari (Sunflower) 27,6 juta hektar. 

"Kalau kita ngomong soal deforestasi, apakah kebun Soybean, Rapeseed dan Sunflower ini di gurun pasir? Kalau bukan, berarti membabat hutan. Coba bandingkan mana yang lebih banyak menggunduli hutan jika sawit dianggap ada lantaran menggunduli hutan," Sahat bertanya.


 

Komentar Via Facebook :