Berita / Siku Kata /
Kawasan Hutan: 'Ngurat Kuno' Atau Gertak Maya?
Primata (tinggi) macam simpanse, lazim pamer kepiawaian kuno, agar tampil ganteng di depan sang betina pujaan hati.
Kepakaran tua itu adalah gerakan menggertak lingkungan sekitar dengan alat (ranting atau dahan kayu) untuk mengusir atau bahkan menaklukkan hewan-hewan lain yang ada di sekitar mereka.
Tapi, si betina amat paham, tentang praktek “ngurat kuno” ini. Si betina selalu menyepelekan semua pamer ganteng itu dengan cara berlalu, tanpa menjeling sedikit pun.
Di kampung-kampung, kepakaran “ngurat kuno” ini, bersalin lewat lengking nyanyian di simpang-simpang jalan. Tujuannya, agar suara-dayu itu didengar anak dara yang tak berjauhan letak mukimnya dari persimpangan.
Tak cukup itu, remaja lelaki mulai menguasai beberapa cord tone (nada) lewat gitar akustik. Maka, jangan heran, banyak anak-anak muda memeting gitar di depan rumah, di bawah rimbun pepohonan, beralas lengkung ban mobil yang dibenamkan separoh ke perut tanah.
Gaya purba? style maya? Antara gertakan atau pun rayuan, semuanya itu bolehlah digolongkan dalam peristiwa “mengurat”. Tak berapa jelas etimologi kata “mengurat” (kata kerja); apakah ingin menonjolkan urat? Sehingga lawan jenis terpesona atau malah terkesima dengan tampilan urat yang timbul dan menonjol? Entahlah.
Yang jelas tujuan dari mengurat dihajatkan semacam cara ekspresi sebagai yang paling... (ganteng, handsome, gagah, kece, tampan). Ini bekal penakluk hati sang kalungan hati.
Gertakan juga bisa dilihat semacam pola “mengurat” jenis lain. Menggertak sebagai kata kerja, juga dihajatkan untuk senantiasa tampil “aku ada”, merawat panggung, tak mau hilang podium, bila diperlukan bisa menyalak lewat podium itu, relasi kekuasaan, politik kuno dalam mempertontonkan kekuatan, kejumawaan, tidak semata kesombongan, tapi juga kuat tapi untuk kemaslahatan orang banyak.
Segala alasan bisa disangkutkan pada peristiwa gertak-menggertak itu. Kehadiran bencana asap, juga bisa dijadikan alasan untuk memacu dunia gertak.
Tak tanggungtanggung, segala perusahaan atau korporasi yang selama ini berlindung atas nama petani kecil akan dibongkar. Karena disinyalir sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan ketika musim kemarau tiba. Asap adalah bencana, dia bukan bagian gertakan alam.
Tapi, manusia bisa dengan cerdik memanfaatkan asap sebagai instrumen gertak, demi membangun relasi kekuasaan, demi menghadir “aku ada” di tengah kalian.
Apakah gertakan ini akan mangkus dan berkesan? Waktulah yang membuktikan. Tak kalah bising, mereka yang digertak oleh seperangkat aturan, ikut balas menggertak lewat juluran aturan yang beririsan dengan aturan sebelumnya.
Terutama menyangkut tentang “penetapan kawasan hutan” dan “penunjukan kawasan hutan”. Kita pun dibuat terpinga-pinga; duuhh indahnya administrasi hukum negara ini, tatanan hukum negara ini, tampilan hukum negara ini.
Apakah semua perangkat tatanan ini juga bagian dari instrumen gertak-menggertak pula? Perlu dicermati, di tengah hiruk-pikuk penegakan hukum lingkungan dan kepastian kepemilikan lahan bagi masayarakat kecil (petani) yang berhadapan secara vis a vis dengan regulator (pemerintah), pasti muncul pihak ketiga yang memanfaatkan momen itu secara cerdik dan cergas.
Tak sedikit para pialang “problem lingkungan” yang berbungkus penyelamatan lingkungan berkeliaran dalam pusaran mainan ‘berburu rente”. Bukan menambah terang masalah, malah akan menambah kusut-masainya masalah yang berjalin-kelindan dengan persoalan yang sudah timpa-menimpa itu.
Belum kelar persoalan SKGR yang berlayapan di tingkat kecamatan sekitar 10 atau 15 tahun silam, sehingga muncul ladang-ladang atau kebun sawit baru di sepanjang kawasan strategis termasuk kawasan lindung. Muncul pula penimpa-penimpa kepentingan “perburuan rente” dengan modal gertak ke perusahaan atau pun pribadi pemilik kebun yang statusnya abu-abu atau diabu-abukan.
Bisa disebab oleh status mereka bukan masyarakat lokal alias pendatang. Ditambah lagi dengan status minoritas (baik dilihat dari etnis atau agama yang dianut); kerunyaman ini bisa-bisa menggiring terjadinya konflik horizontal, bahkan mengarah pada sparasi atau bahkan desintegrasi sosial atau malah desintegrasi kebangsaan (negara).
Memberes persoalan yang menahun ini bak mengurai rambut di dalam tepung. Salah-salah tarik, tepung terburai, bahkan mengenai wajah sang pengurai.
Pun, saban ada pergantian rezim, pasti akan ada semangat baru, tatanan baru yang diinginkan dalam
periode pemerintahannya: jalan idealistik.
Usaha menuju ideasi itu perlu juga memperhitungkan beberapa pikiran dan pendapat yang ada, berkembang di tengah masyarakat.
Tidak hanya memperoleh masukan sepihak dari orang-orang yang berada di lingkaran dalam semata. Berada di lingkaran kekuasaan, pandangan serba terbatas. Hanya berinteraksi dengan cahaya dan madu di dalam sangkar emas kuasa. Terkadang alpa realitas lapangan. Pun, bukan tak mungkin, semua bentuk aturan dan tatanan baru yang hendak dijinjing itu malah menyepak, jadi bumerang yang memukul balik ke arah sang penggertak.
Masalah kepemilikan lahan, sedemikian kompleks dengan segala timpaan masalah tak semata legal standing, tetapi juga hak masyarakat dalam status warga negara tentang kepemilikan.
Hak esensial yang selalu terabaikan oleh negara. Alias negara selalu telat hadir sejak dulu dalam mendudukkan domain “ownership” (kepemilikan) terhadap hak terdasar bernama tanah atau lahan.
Dunia tak selesai oleh segunung gertak-gertakan walau terkesan formal. Semua kunci itu bersumber dari pribadi pemimpin yang besar.
Aldous Huxley sang penulis besar berujar: “Hanya ada satu sudut di jagat raya ini yang bisa anda tingkatkan; sudut itu adalah diri anda sendiri” (There is only one corner of the universe you can certain of improving, and that’s your own self). Tak cukup lewat sekedar gertakan maya...
Komentar Via Facebook :