https://www.elaeis.co

Berita / Pojok /

Pasar Bebas Corona Mata Uang Dunia

Pasar Bebas Corona Mata Uang Dunia

Agung Marsudi. foto: dok. pribadi


Macam-macam cara orang cari uang, cari makan.

"Jual kopi, jual opini. Jual bayam, jual saham. Jual data, jual suara. Jual koran, jual kehormatan. Jual pasal, jual bantuan sosial. Jual obat, jual ayat. Jual tikar, jual gelar.

Tak usah diperdebatkan lagi, apalagi di musim pandemi. Kenapa fenomena itu bisa terjadi. Sebab jawabnya, hukum pasar biasa, ada permintaan, ada penawaran.

Publik tak mungkin lupa, tempat bertemunya penjual dan pembeli itu bernama "pasar". Baik pasar tradisional, maupun pasar digital. Pasar kebebasan, yang masing-masing punya "kekenyalan" berbeda, dan daya "kontraksi" luar biasa.

Di politik, akan dijumpai pasar suara, apalagi di era pesta demokrasi pilkada. Di platform digital, dimana akun menjadi kunci masuk pengguna, di situ ada jual beli data. Di era kapitalisasi media, "opini" jamak dijual, bisa pesanan, bisa pancingan.

Baca juga: Efek Puan dan Banteng Ketaton

Pertanyaannya yang penting sebenarnya, bukan siapa penjualnya, tapi siapa sesungguhnya "para" pembelinya. Begitu sistemik, begitu kenyal, begitu nakal.

Meski semua tahu, semua cara ada resiko dan tanggung jawabnya, sesama manusia, apalagi di hadapan Yang Kuasa.

Apapun itu, fenomena cari makan di tengah semakin majemuknya kebutuhan, dan berhadapan dengan canggihnya teknologi yang berkelindan virus kemanusiaan, menuntut kecerdasan dan kehati-hatian. 

Kita mengira anggaran belanja negara telah berputar di pasar, sekitar rumah kita, padahal ia telah mengalir ke antar benua, jauh sebelum angka-angka berubah jadi hutang negara. 

"Pasar bebas" itu kini ada di genggaman. Teknologi telah mendekatkan penjual dan pembeli, hanya tinggal "klik". Yang diminta datang, yang mimpi jadi kenyataan. Tidak hanya "barang" yang dijual, "orang-orang" dimonetisasi, dijual dan ditransaksikan.

Pasar bebas, penjual dan pembeli di planet bumi, bertemu di genggaman, tanpa kertas, tanpa likuiditas, tanpa batas.

"Corona" adalah nyata, mata uang di depan mata. Komoditas berharga di pasar bebas dunia. Itulah jawaban, sehingga anggaran belanja negara, dipertaruhkan di meja antrian suntikan.


Agung Marsudi

Direktur Duri Institute. Pemerhati masalah-masalah urban, lingkungan dan sosial politik. Lahir di Solo, 03 Maret 1970. Lebih dari dua dasawarsa, penggemar olahraga panjat tebing ini, juga terlibat dalam kegiatan pemetaan potensi dan analisis data sosial, ekonomi dan politik. 

Keseriusannya di bidang geospasial, telah mengantarkannya mengelilingi Indonesia dengan mosaik dan keragamannya.

Founder lembaga kajian Duri Institute yang berkhitmad pada persoalan kebangsaan, migas dan kearifan lokal ini juga aktif di berbagai kegiatan antikorupsi serta menjadi narasumber di berbagai diskusi, seminar, workshop tentang kedaulatan Migas Indonesia.

Menjadi pembicara dalam Kajian Akademis Tata Kelola Migas di Indonesia: Keuangan Negara dan Daerah serta Petroleum Fund, Universitas Indonesia dan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta, terkait Perang Asimetris & Skema Penjajahan Gaya Baru.

Menulis dua buah buku terkait anatomi dan sepak terjang Chevron di Blok Rokan; Duri Tanah Air Baru Amerika (2010) dan Chevronomics (2016).

Komentar Via Facebook :