Berita / Feature /
PASPI: Sawit Itu Penyelamat Hutan, Penabur Duit!
angka-angka yang muncul jika sawit tak ada. foto: ist
Jakarta, elaeis.co - Sudah berpuluh tahun Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor ini mencari tahu hitam putihnya sawit.
Dan selama itu pula, ragam hasil penelitian ilmuwan dunia, sudah dia dapatkan. Hasilnya; nyaris tak ada yang bilang sawit itu tak baik.
Tapi di masyarakat umum, tak sedikit pula orang yang membenci sawit. Baik itu perorangan, maupun secara kelembagaan. Di dalam negeri saja, banyak yang ingin kelapa sawit dilenyapkan.
Oleh keadaan inilah kemudian lelaki 55 tahun ini berandai-andai kalau sawit tidak ada. "Lantaran saya sudah tahu kedasyatan sawit ini, bergidik saya membayangkan jika dia tak ada," suara Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) ini bergetar saat berbincang dengan elaesi.co, kemarin.
Bergidik lantaran Tungkot Sipayung tak bisa membayangkan 167 juta hektar hutan di dunia ini akan lenyap demi memenuhi kebutuhan minyak nabati.
"Katakanlah kalau hanya Soybean, Rapeseed dan Sunflower yang ada. Sudah kami hitung, bahwa jelang 2050, kebutuhan minyak nabati itu mencapai 260 juta ton. Kalau ditambah untuk kebutuhan Biodiesel dan Oleokimia, harus ada sekitar 500-600 juta ton. Dari mana ini mau didapat? Hasil sehektar Soybean cuma 0,45 ton, Rapeseed 0,7 ton, Sunflower 0,52 ton. sementara sawit, 4,3 ton," katanya.
Untunglah sawit ada kata Tungkot. Jadi tutupan hutan bisa bertahan. Sebab produksi sawit masih sangat bisa digenjot untuk memenuhi itu.
"Sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia, Indonesia sudah dan sedang menerapkan teknologi dan prinsip-prinsip sawit berkelanjutan. Salah satunya meningkatkan produksi tanpa memperluas lahan," ujarnya.
Jadi, kata Tungkot, Indonesia sudah tampil sebagai negara yang paling berperan menghambat laju deforestasi dan menjadi negara yang paling banyak menyerap karbon. Sebab itu tadi, luas kebun sawit Indonesia mencapai 16,38 juta hektar. Kalikan saja jika satu hektar sawit bisa menyerap 64,5 ton karbondioksida!
Asyik ngobrol, tak terasa asisten khusus Menteri Pertanian Bidang Pembangunan Agribisnis 2000-2004 ini pun menceritakan geliat sawit sejak tahun 1980 silam.
Soybean oil waktu itu masih menjadi raja di pasar minyak nabati dunia. Dominasinya mencapai 51%, minyak sawit 28%, Rapeseed Oil 13% dan Bunga Matahari 8%.
Namun 20 tahun kemudian, minyak sawit menyalip Soybean Oil itu. Bahkan perlahan, hingga 2020, sawit telah membukukan dominasi di angka 44%, Soybean 31%, Rapeseed 14% dan Bunga Matahari 11%.
Masih di tahun 1980, Malaysia tampil sebagai raja di pasar minyak sawit dunia dengan angka 55%. Indonesia masih di angka 15% dan yang lainnya 30%.
Namun di 2020, Indonesia unggul, minyak sawitnya mendominasi di angka 58%, Malaysia 26% dan yang lainnya 16%.
Dominasi itu muncul lantaran seiring waktu kebun kelapa sawit Indonesia terus bertambah 16,38 juta hektar di tahun 2020. Sekitar 6,8 juta hektar dari luasan itu, milik masyarakat.
Kalau tahun 2010 ekspor Indonesia masih didominasi oleh Crude Palm Oil (CPO) 75%, Refine Plm Oil (RPO)+ Refine Palm Kernel Oil (RPKO) 38%, Oleokimia dan Biodisel 5%, sepuluh tahun kemudian, komposisinya berubah.
"Ekspor RPO+RPKO sudah di angka 67%, CPO 22% dan Oleokimia + Biodiesel 11%," Tim Ahli Pemerintah pada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam menghadapi kebijakan Renewable Energy Directives (RED II) ILUC Uni Eropa ini mengurai.
Di dalam negeri kata Tungkot, dari tahun 2012 sawit sudah jadi penyelamat ekspor non migas Indonesia. Disebut penyelamat lantaran kalau sempatlah tak ada sawit, angka ekspor non migas Indonesia akan minus. Mulai dari minus USD2,5 miliar dan malah sampai minus USD17,4 miliar.
"Tapi lantaran ditopang oleh sawit, ekspor non migas itu berubah menjadi positif; antara USD3,9 miliar hingga USD20,4 miliar. Itu terjadi hingga 2019," katanya.
Tahun lalu, ekspor non migas tanpa sawit hanya USD4,7 miliar, tapi lantaran ditopang oleh sawit, ekspor non migas itu membengkak menjadi USD27,7 miliar.
Tak terasa sekarang kata Tungkot, ekspor sawit sudah merembet kemana-mana, termasuk juga Biodiesel dan Oleokimia.
Hadirnya biodiesel ini tentu berdampak pada berkurangnya penggunaan minyak fosil. Di Indonesia sendiri, kalau 2010 impor minyak fosil masih lebih dari 35 juta kiloliter, tahun lalu sudah berkurang jauh; sekitar 5 juta kiloliter.
Mandatori B30 yang digagas oleh Presiden Jokowi telah membikin negara lebih mudah mengatur pasar dagang dalam dan luar negeri dan ini berdampak pula pada stabilitas harga beli Tandan Buah Segar (TBS) milik petani.
Baca juga: 167 Juta Hektar Lagi Hutan Akan Binasa
Sudahlah membikin petani sumringah, hingga 2020, B30 tadi ternyata telah pula menghemat Green House Gas (GHG) hingga 22,3 juta ton CO2.
Uniknya, di negara tujuan, sawit juga menciptakan lapangan kerja. Kalau ditotal, mencapai 2,73 juta orang.
India mendominasi penciptaan lapangan kerja itu; 42%. Lalu China 29%, Uni Eropa 3%, Amerika 2% Pakistan dan Bangladesh 5%, Afrika 7% dan lainnya 13%.
Oleh hadirnya lapangan kerja tadi, negara tujuan ekspor juga menikmati duit sawit itu yang kalau ditotal mencapai USD38 miliar.
Lagi-lagi, India menikmati 16,7%, China 17%, Uni Erpa 18,7%, Pakistan dan Bangladesh 10,1%, Amerika 7,3%, Afrika 13,5% dan lainnya 17%. Hhmmm...




Komentar Via Facebook :