Berita / Bisnis /
'Tidur' Doang, Petani Ini Diguyur Duit
Jakarta, elaeis.co - Selama ini bisa jadi orang-orang cuma tahu kalau yang disebut petani kelapa sawit itu adalah orang-orang kampung yang punya lahan sangat terbatas atau warga transmigrasi yang dikasi pemerintah tanah dua hektar untuk dijadikan kebun kelapa sawit dan kemudian dikelola sendiri.
Tapi seiring waktu, ternyata tipologi petani kelapa sawit itu ada tiga macam. Inilah yang ditemukan oleh Ketua Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung saat melakukan penelitian untuk kepentingan penyelesaian program doktor nya di Universitas Riau.
“Ketepatan saya melakukan penelitian di sembilan dari 12 kabupaten kota yang ada di Riau. Saya memilih Riau lantaran saya orang Riau. Tapi yang paling penting lagi, Riau adalah provinsi dengan tutupan tanaman kelapa sawit terluas di Indonesia; mencapai 4,02 juta hektar,” cerita lelaki 48 tahun ini saat berbincang dengan elaeis.co, kemarin.
Baca juga: 'Benua Biru' Mikir Loe!
Dalam penelitian itu kata Ketua Bravo 5 Provinsi Riau ini, dia mengambil responden dengan rata-rata kepemilikan kebun, 4,18 hektar dengan produktivitas per hektar 1,38 ton per bulan.
Adapun tipologi pertama petani tadi kata Gulat adalah petani yang kebunnya dikelola langsung tanpa campur tangan orang lain. Kedua, petani yang dibantu oleh pekerja dan terakhir, petani yang lahannya dikelola oleh orang lain. Ayah dua anak ini kemudian mengistilahkan petani tipologi terakhir, ‘petani tidur’.
Nah, lantaran dikerjakan sendiri, petani tipologi pertama ini cenderung lebih banyak mengantongi hasil, mencapai Rp4,65 juta per bulan. Petani tipologi kedua bisa meraup Rp3,55 juta perbulan dan ‘petani tidur’ kebagian Rp2,75 juta perbulan.
“Tengoklah, cuma ‘tidur’, petani bisa kebagian duit setara Upah Minimum Provinsi (UMR) Riau yang saat ini di angka Rp2,88 juta. Itu baru dari hasil sawit.
Soalnya data yang saya dapat justru ada 76% petani sawit yang punya penghasilan tambahan di kebunnya dari ternak sapi, kambing, ayam, bebek petelur, perikanan darat dan tanaman buah-buahan,” Auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini merinci.
Kenapa fenomena ini muncul? “Ini erat kaitannya dengan kondisi saat ini bahwa petani sawit itu sudah generasi kedua, pendidikannya saja sudah 42% jebolan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan bahkan 11% sudah sarjana. Jadi, wajar kalau tipologi petani sawit sekarang menjadi berkembang, sebab sudah ada yang berorientasi bisnis, terukur pula. Artinya, dia sudah punya hitung-hitungan yang jelas,” Gulat mengurai.
Yang membikin Gulat kaget, hasil analisa keberlanjutan (sustainability) yang dia bikin menunjukkan bahwa dari aspek ekonomi, sosial dan ekologi, keberlangsungan usaha perkebunan rakyat ini ternyata sudah masuk kategori berkelanjutan.
“Ingat, semua petani swadaya itu bisa menikmati hidup seperti sekarang, itu murni dari upaya dia sendiri, tanpa campur tangan pemerintah. Artinya, para petani ini adalah anak-anak bangsa yang sadar diri dan tidak mau merepotkan pemerintah,” tegasnya.
Dan sekarang, para petani ini --- dari 16,38 juta hektar luas kebun kelapa sawit di Indonesia, 42% atau 6,8 juta hektar adalah milik petani --- telah menjelma menjadi kelompok penyumbang devisa terbesar Negara dan satu-satunya kelompok petani penyumbang biaya untuk membikin biodiesel dan produk yang dikenal dengan B30 itu kemudian dijual Pertamina di SPBU-SPBU.
Oleh kenyataan inilah makanya Gulat sontak merasa miris ketika ada pihak-pihak yang sembarangan ngomong apalagi ngomong tak sedap soal petani sawit, tanpa data yang akurat. “Paling berasa ngilu lagi kalau yang ngomong sembarangan itu seorang pejabat Negara,” katanya.
Lelaki penyuka gulai telor ini pun menyentil omongan Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Guntur Syahputra Saragih dan Pengamat Ekonomi UPN Jakarta, Fachru Nofrian pada Webinar bertajuk Persaingan Usaha dan Kemitraan Dalam Industri Kelapa Sawit, Kamis pekan lalu.
Guntur menyebut bahwa gurihnya kelapa sawit itu enggak sampai (dirasakan) petani sawit rakyat, itulah yang kemudian membikin para petani sawit itu tidak kunjung sejahtera.
Omongan Guntur ini diaminkan pula oleh Fachru. Fachru bilang bahwa saat ini semakin banyak serapan tenaga kerja (naker) di industri sawit. Ini menjadi indikator bahwa semakin banyak petani sawit berubah profesi menjadi buruh tani sawit.
“Enggak nyambung ini pernyataan. Hasil penelitian saya, memang terjadi penambahan signifikan naker di sektor perkebunan kelapa sawit. Penambahan ini terjadi lantaran ada migrasi naker kota ke perkebunan sawit. Sekitar 86% dari mereka adalah eks naker perkotaan yang kena PHK atau kehilangan mata pencaharian oleh lesunya ekonomi perkotaan akibat pandemic,” ujar Gulat.
Gulat mengklaim kalau hasil penelitiannya itu berkorelasi positif dengan data Nilai Tukar Petani (NTP) bulan Maret 2021 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Di data itu disebutkan bahwa NTP sektor perkebunan rakyat menjadi yang tertinggi; 3,08%, Petani Hortikultura 1,8% dan peternakan 0,03%.
“Sebaran NTP 3,08% itu justru berada di kabupaten kota yang punya perkebunan kelapa sawit rakyat,” kata Gulat.
Oleh fakta yang bersumber dari data tadi, Apkasindo sangat berharap agar siapapun yang ingin mengomentari petani sawit, monggo pakai data otentik. “Jangan asal ngomong yang justru kemudian membikin kegaduhan dan menyinggung petani,” pinta Gulat.
Kalau pun di daerah tertentu ada harga Tandan Buah Segar (TBS) petani belum sesuai harapan, Gulat berharap itu jangan dijadikan alasan untuk menggeneralisir. “Jangan semua digeneralisir. Gimana pula petani tak kunjung sejahtera, belakangan saja harga sawit sangat mempesona. Yang benar sajalah bikin statement itu ah,” ujarnya.
Gulat tak menampik kalau sampai sekarang, masih banyak persoalan yang dihadapi petani sawit. Mulai dari belum punya pabrik pengolahan sendiri, klaim kawasan hutan dan konsesi, dan yang lain. “Di sinilah sebenarnya dibutuhkan peran kita semua. Bahwa sawit kini telah menjadi penopang utama ekonomi bangsa, menjadi landasan kuat agar semua melek dengan komoditi ini,” katanya.
“Saya justru sangat tertarik kalau KPPU ngomongin soal konsep dan model keberlanjutan pola kemitraan inti-plasma episode kedua. Sebab faktanya 41% pola kemitraan inti-plasma perkebunan kelapa sawit episode pertama (25 tahun pertama) tidak berlanjut ke tahap kedua, artinya petani plasma memilih mandiri atau pindah ke Inti lain. Ini yang urgent itu, gimana memitrakan petani mandiri dengan korporasi,” Gulat menekankan.
Sangking urgentnya, Kemenko Perekonomian malah sudah memberikan arahan agar jadi perhatian serius semua pihak. “Yuk kita evaluasi pola kemitraan episode pertama itu, mari kita rancang ‘new model’, konsep Kemitraan Setara Plasma-Inti misalnya,” Gulat menyodorkan usul.
Komentar Via Facebook :