https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Usai Jangka Benah, Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan Diserahkan ke Negara

Usai Jangka Benah, Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan Diserahkan ke Negara

Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (Dirjen PHL) KLHK, Agus Justianto. Foto: menlhk.go.id


Jakarta, elaeis.co - Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (Dirjen PHL) KLHK, Agus Justianto, menyebutkan, ekspansi penanaman sawit di dalam kawasan hutan yang non prosedural dan tidak sah menjadi fokus yang akan diselesaikan pemerintah saat ini.

"Terkait infiltrasi sawit yang tidak sah atau keterlanjuran sawit dalam kawasan hutan, maka penyelesaiannya dilakukan dengan memenuhi unsur-unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, sehingga penegakan hukum yang dilakukan dapat memberikan dampak yang terbaik bagi masyarakat serta bagi hutan itu sendiri," katanya lewat siaran pers, Senin (7/2/2022).

Salah satunya solusi yang disiapkan KLHK adalah melalui regulasi jangka benah sebagai upaya memulihkan fungsi kebun sawit rakyat monokultur menjadi kebun sawit campur dengan teknik agroforestry tertentu disertai dengan komitmen kelembagaan dengan para pihak.

Sebagai informasi, agroforestry adalah sistem usaha tani yang mengombinasikan antara tanaman pertanian dan tanaman kehutanan untuk meningkatkan keuntungan serta memberikan nilai tambah.

Baca juga: KLHK Tegaskan Sawit Bukan Tanaman Hutan

Menurut Agus, Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 8 dan 9 Tahun 2021 sebagai kebijakan turunan dari Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) telah memuat regulasi terkait penanaman tanaman pohon kehutanan di sela tanaman kelapa sawit atau disebut jangka benah.

"Adapun jenis tanaman pokok kehutanan untuk Hutan Lindung dan Hutan Konservasi harus berupa pohon penghasil hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan dapat berupa pohon berkayu dan tidak boleh ditebang," katanya.

Dalam permen tersebut juga diberlakukan larangan menanam sawit baru di lahan jangka benah. Setelah selesai satu daur tanam, maka lahan tersebut wajib diserahkan kembali kepada negara. 

"Untuk kebun sawit yang berada dalam kawasan hutan Hutan Produksi, diatur diperbolehkan satu daur selama 25 tahun," katanya.

Sedangkan kebun sawit yang berada di hutan lindung atau hutan konservasi hanya dibolehkan satu daur selama 15 tahun sejak masa tanam dan akan dibongkar lalu ditanami pohon setelah jangka benah berakhir.

Agus menegaskan, sistem jangka benah wajib dilakukan sesuai tata kelola perhutanan sosial, penanaman tanaman melalui teknik agroforestri yang disesuaikan dengan kondisi biofisik dan kondisi sosial, menerapkan sistem silvikultur atau teknik budidaya, serta tanpa melakukan peremajaan tanaman kelapa sawit selama masa jangka benah.

"Pendekatan ultimum remedium diambil sebagai tindakan jalan tengah yang adil dan baik bagi semua pihak, termasuk untuk kelestarian hutan," kata Agus.

Sebagai catatan, ultimum remedium merupakan salah satu asas dalam hukum pidana Indonesia yang menyatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum.

Menurut Agus, UUCK juga telah memperjelas bahwa sawit bukanlah tanaman hutan karena ada proses menghutankan kembali melalui jangka benah. 

"UUCK telah memposisikan secara jelas bahwa sawit tetap tergolong tanaman perkebunan. Ruang tanam sawit secara sah sudah ada ruang mekanismenya dan sudah terang benderang pula pengaturannya," katanya.

"Saat ini yang terpenting adalah bagaimana pelaksanaan PP 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan dapat kita kawal bersama agar efektif  implementasinya, sehingga hutan bisa lestari dan rakyat tetap sejahtera," tambahnya. 


 

Komentar Via Facebook :