https://www.elaeis.co

Berita / Feature /

Gula Cair. Ya, Gula Cair!

Gula Cair. Ya, Gula Cair!

Buru tani sedang mengangkut tebu hasil panen ke dalam truk di kawasan Ngasem, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Foto: Antara Foto/Rudi Mulya


Jakarta,elaeis.co - Kalau mau, sebetulnya tidak sulit mengembalikan kejayaan gula Indonesia di masa lalu, saat Indonesia benar-benar disegani sebagai pengekspor gula terbesar kedua dunia, setelah Kuba. 

"Bikin saja gula cair, gitu aja kok repot," kata Ketua Masyarakat Hidrokarbon Indonesia (MBI), Sahat Sinaga, datar, saat berbincang dengan elaeis.co, kemarin.

Sesaat kemudian ayah tiga anak ini mengumbar senyum. "Kesannya gampang banget, ya?" jebolan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung ini malah bertanya.  

"Begini, kalau yang dipasarkan gula cair, pabrik tak perlu lagi menghabiskan duit sekitar 30%-35% dari Harga Pokok Produksi (HPP) untuk membikin gula kristal atau gula pasir. Kalau penghematan sudah sebanyak itu, pabrik akan bisa membeli tebu petani lebih mahal. Sebaliknya, pabrik akan bisa menjual gula lebih murah di pasaran," Sahat mulai mengurai. 

Kalau misalnya kebutuhan gula pasir Indonesia sekitar 6,950 juta ton setahun dengan harga pasar retail Rp12.170 perkilogram, ini berarti harga gula pasir di pabrik sekitar Rp8.130 perkilogram, atau 67% dari harga pasar retail tadi.

Terus, kalau HPP berkisar Rp6500 perkilogram, maka laba pabrik tentu hanya sekitar Rp1630 perkilogram.
 
Tapi kalau proses produksi berhenti sampai pada gula cair --- tidak dijadikan gula kristal --- maka akan terjadi penurunan biaya produksi antara Rp1.850-1980 perkilogram. 

"Pukul ratakan sajalah Rp1900 perkilogram. Nah, tadi saya bilang kan konsumsi gula Indonesia itu 6,950 juta ton setahun. Dikali Rp1900, maka ada Rp13,2 triliun duit yang bisa dihemat. Duit ini akan bisa membuka lahan kebun tebu baru seluas 227 ribu hektar pertahun, muncul lapangan kerja baru, duit masuk ke negara semakin besar," katanya tertawa. 

Sebenarnya kata Sahat, dulu Belanda sengaja membikin gula kristal lantaran 80% dari produksi gula Hindia Belanda diekspor ke negara sub tropis. Di negara sub tropis, gula kristal bisa tahan lama lantaran di sana uap air di udara (humidity) rendah. 
  
"Ingat, gula itu bersifat hygroscopic (penghisap air). Kalau kita membikin gula kristal untuk kebutuhan dalam negeri, ngapain? Pertama orang Indonesia itu enggak makan gula pasir. Kedua, humidity Indonesia itu antara 80-90%. Gula pasir enggak akan bisa bertahan lama lantaran langsung mengisap air. Kecuali disimpan di tempat kering," ujarnya. 

Jadi, kalau pemerintah membikin gula cair kata Sahat, penyelundupan gula bisa diminimalisir, harga gula cair ke konsumen lebih murah dan duit yang akan diinvestasikan di pabrik gula juga akan bisa ditekan. 

"Saya rasa apa yang saya bilang ini menjadi salah satu alternatif yang revolusioner lah untuk mendongkrak pendapatan para petani tebu dan juga meningkatkan produksi gula Indonesia," Sahat yakin.

Hanya saja kata Sahat, bukan tidak mungkin juga banyak orang yang tak senang dengan ide dia itu. Sebab ide ini dipastikan akan mengganggu 'dapur' orang-orang yang sudah nyaman mengantongi duit komisi impor gula yang nilainya triliunan rupiah itu. 

Soal komisi maupun untung impor yang dibilang Sahat ini ternyata dikupas juga oleh peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri, di laman faisalbasri.com, Kamis pekan lalu. 

Lelaki 61 tahun itu menyebut bahwa dengan   mengantongi surat sakti impor, pabrik gula rafinasi atau gula putih sudah bisa mengantongi untung sekitar Rp2.200 perkilogram. 

Bayangkan berapa total untung yang didapat kalau impor tahun lalu saja mencapai 5,54 juta ton. Angka ini kata Faisal melonjak dari 2019 yang hanya 4,09 juta ton.

Harga gula dunia memang jauh lebih rendah 4,4 kali lipat ketimbang harga gula di dalam negeri. Setidaknya kesenjangan dengan angka segitu terjadi pada April tahun lalu. 

"Ngapain pabrik buang-buang keringat kalau toh bisa dapat untung sebanyak itu," ekonom senior ini berujar. 

Yang membikin masalah menjadi semakin ribet kata ayah tiga anak ini, pemerintah telah mengada-ada soal jenis gula. 

Kalau dunia hanya mengenal dua jenis gula --- gula putih atau gula rafinasi dan gula mentah --- 
di Indonesia jenis gula justru ada tiga; gula mentah, Gula Kristal Putih (GKP) dan Gula Kristal Rafinasi (GKR). GKP ini notabene sama dengan GKR.

Yang membedakan hanya, GKP diproduksi oleh pabrik gula domestik sementara GKR diproduksi dari gula mentah yang diimpor tadi. 

Pemerintah kata Faisal telah menciptakan dua pasar untuk produksi serupa. Dan ini dibunyikan di Peraturan Menteri Perindustrian nomor 3 tahun 2021. 

Di pasal 6 dibilang; perusahaan industri gula kristal rafinasi hanya boleh memproduksi gula kritasl rafinasi. Sebaliknya perusahaan industri gula berbasis tebu hanya boleh memproduksi gula kristal putih," Faisal merinci.

"Kata para petinggi kementerian perindustrian, Permen itu bertujuan untuk menghindari rembesan. Lah, rembesan itu ada kan lantaran perlakuan pemerintah yang membedakan barang yang serupa. Mestinya pemerintah menciptakan satu pasar gula, bukan malah memisah-misahkan," ujarnya.    


 

Komentar Via Facebook :