Berita / Nusantara /
Incar Kayu di Papua, Begini Modus Perusahaan Sawit
Jakarta, Elaeis.co - Sejumlah perusahaan perkebunan sawit di Papua Barat dituding melakukan pelanggaran dalam operasionalnya. Pengacara publik dan pegiat lingkungan, Nur Amalia, menyebut ada sejumlah modus atau cara yang digunakan perusahaan-perusahaan itu.
Ia mengatakan, tim evaluasi perizinan perkebunan pemerintah daerah dan kementerian/lembaga menemukan sedikitnya 17 modus yang digunakan perusahaan perkebunan sawit di Papua.
Misalnya, ada yang punya izin lokasi tapi tidak punya izin usaha perkebunan (IUP) atau sebaliknya. Ada juga yang punya izin lokasi, punya IUP, tapi tidak punya izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri KLHK.
Ada juga perusahaan yang punya izin lokasi, punya IUP, tapi tidak punya izin lingkungan. Lalu ada yang punya izin lingkungan, tapi tidak punya IUP.
“Ada yang punya IUP, izin lokasi, izin lingkungan, tapi melanggar Peraturan Menteri Pertanian yang mewajibkan mengalokasikan 20 persen lahan untuk plasma masyarakat. Harus menyiapkan sarana prasarana di kebunnya, harus melakukan pembebasan lahan dan kesepakatan lahan dengan masyarakat adat,” kata Nur Amalia, dikutip Jubi.
Menurutnya, sesuai aturan, mestinya paling lambat dua tahun setelah dapat izin lokasi, perusahaan perkebunan sawit harus menyelesaikan pembebasan lahan dengan masyarakat adat. “Akan tetapi itu tidak dilakukan sebagian besar perusahaan. Sebagian besar perusahaan yang izinnya dicabut Bupati Sorong, tidak memenuhi itu,” ungkapnya.
Kata Nur Amalia, apabila perusahaan tidak bisa melakukan pembebasan lahan dengan masyarakat dalam waktu yang telah ditentukan, ini menandakan masyarakat tidak sepakat lahan mereka dijadikan perkebunan sawit.
“Makanya, saat Bupati Sorong mencabut izin empat perusahaan, masyarakat mendukung karena selama ini mereka tidak pernah menyetujui beroperasinya perusahaan sawit di lokasi mereka,” ucapnya.
Ia membeberkan, ketika tim lintas sektoral di daerah dan kementerian/lembaga mengevaluasi perizinan perkebunan sawit di Papua Barat beberapa waktu lalu, ditemukan ada perbedaan peta area lokasi perkebunan antara perusahaan dan instasi terkait.
Akan tetapi setelah diklarifikasi, kedua pihak kemudian dapat menyamakan perbedaan peta lokasi area perkebunan itu.
Selain itu katanya, ada perusahaan yang peta area izinnya benar, namun saat dicek ke lapangan mereka beroperasi di luar yang diberikan izin. “Setelah dicek, izin yang diberikan itu kawasan berada di lahan gambut. Perusahaan sulit melakukan penebangan dan cari gampang, bekerja di luar dari area izin,” sebutnya.
Nur Amalia mengatakan, dari sekitar 30 perusahaan perkebunan sawit di Papua Barat, baru delapan perusahaan yang beroperasi dan melakukan penanaman sawit.
“Fakta lainnya, mereka beroperasi tapi tidak melakukan penanaman sawit. Apa yang dilakukan? Yang dilakukan adalah menebang pohon. Mereka ada yang beroperasi sejak 2013, 2014, 2015. Mereka tidak melakukan penanaman, tapi kayu di area perizinan mereka itu sudah tidak ada,” katanya.
Salah seorang advokat di Papua, Pieter Ell mengatakan, ada berbagai cara yang diduga digunakan perusahaan untuk mengambil kayu dari hutan Papua dan Papua Barat. “Seperti sekarang, ada izin untuk perkebunan sawit masuk, akan tapi yang ditanam bukan sawit. Jadi, land clearing-nya itu mereka ambil kayunya,” ungkapnya.
Begitu juga saat pembukaan ruas jalan baru. Menurutnya, secara teknis, pembukaan akses jalan baru areanya dengan menarik garis lurus.
“Kalau dibuka jalan baru, secara teknis lurus saja. Tapi kalau sepanjang jalan tidak ada kayunya, maka dibelokkan dulu. Cari yang ada potensi kayunya dulu. Itu modus-modus yang terjadi di Papua,” ucapnya.
Perusahaan juga, katanya, memperalat masyarakat adat untuk mendapatkan Izin Pengolahan Kayu Masyarakat Adat (IPK MA). Pernah ada sekitar 200 Koperasi Peran Serta Masyarakat (Kopermas) di Tanah Papua yang diberikan IPK MA.
“Ada adat di belakang untuk legalisasi. Tapi praktiknya, masyarakat adat tidak dapat hak-haknya. Kayu dibeli dengan sangat murah. Satu kubik sekitar Rp 100 ribu kalau tidak salah. Itu 15 hingga 20 tahun lalu. Tapi saat diekspor ke luar, Rp 15 juta per kubik,” urainya.
Menurutnya, setelah adanya Operasi Hutan Lestari, semua perizinan dicabut. Para pengusaha pun bersembunyi di balik modus terbaru.
“Potensi kayu log di Papua itu di wilayah kepala burung. Kalau mulai dari Kaimana, kemudian Bintuni, Sorong, Merauke, Jayapura, sedikit,” tutupnya.
Komentar Via Facebook :