Berita / Nusantara /
Menyoal (Kembali) Kelakuan Tetangga
Jakarta, elaeis.co - Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dengan Relawan Jaringan Rimbawan (RJR) hari ini boleh dibilang tidak begitu lama, kurang dari dua jam.
Tapi di sepanjang pembicaraan secara daring yang dipimpin oleh Wakil Komite I DPD RI, Fernando Sinaga itu, segunung persoalan pertanahan terus berterbangan.
Di Riau misalnya, Areal Penggunaan Lain (APL) Kabupaten Kepulauan Meranti yang cuma 29%, 95% nya justru sudah jadi Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB).
"Alhasil 12 ribu bidang Sertifikat Hak Milik (SHM) yang ada di lahan APL itu, dianggap tak ada," ujar anggota DPD RI asal Riau, Intsiawati Ayus yang nimbrung dalam RDP itu walau sedang dalam perjalanan.
Baca juga: Pakar: OMP Sudah Diboikot
Masih di Riau, penataan ulang Taman Nasional Teso Nilo (TNTN) di Pelalawan dua tahun lalu yang sudah banyak menghabiskan duit, sampai sekarang tak jelas nasibnya.
"Alhasil, nasib petani yang ada di sekitar TNTN itupun sampai sekarang tak jelas," kata anggota RJR di Riau, Fajar Suryo Pratomo pula.
Di Mamuju Sulawesi Barat, kata anggota DPD RI Al Malik Pababari, ada 9,2 hektar lahan milik masyarakat yang diklaim oleh KLHK sebagai Hutan Lindung. Padahal sudah ada sertifikat yang diterbitkan BPN.
Sudahlah sertifikat itu tak dianggap, klaim tadi menggelinding pula ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat. Sembilan orang pemilik lahan repot kena panggil-panggil.
Saking banyaknya persoalan yang muncul, sampai-sampai Fernando mengusulkan agar persoalan tanah ini digotong saja ke level kaukus.
Artinya, persoalan ini tak hanya ditangani oleh DPD, tapi sudah melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan stakeholder terkait.
Baca juga: Cerita Kawasan Hutan dan Aroma Cuan
Soalnya berharap kepada Panitia Kerja (Panja) atau Tim Kerja (Timja), sudah tak mempan lagi. Begitulah sangking rumitnya persoalan tanah yang terjadi itu.
Dan Fernando sendiri sangat paham persoalan yang ada lantaran dia orang lapangan dan sudah selalu turun mengadvokasi masyarakat bersama kawan-kawannya di Komite I.
Secara sederhana, Fernando bilang bahwa saat ini ada persoalan berat yang terjadi di tata ruang di semua provinsi yang ada di Indonesia.
Persoalan itu terjadi lantaran selama ini, sudahlah regulasi antar kementerian tumpang tindih, partisipasi masyarakat saat penyusunan tata ruang, juga sangat minim.
Lalu dalam hubungannya dengan tata hutan dan lahan, masyarakat tak dapat informasi apa-apa, padahal terkait tata hutan dan lahan, itu justru informasi publik yang semestinya gampang diakses masyarakat.
"Pelanggaran tata ruang dan wilayah, minim ditetapkan sebagai tindak pidana korupsi," tambahnya.
Bagi anggota DPD RI asal Kalimantan Tengah (Kalteng) Agustin Teras Narang, rumitnya persoalan tata ruang ini sudah sampai pada; Quo Vadis Tata Ruang Indonesia.
"Ini kondisi riil. Antar kementerian tak ada koordinasi yang bagus. Tak ada One Map Policy," kata bekas Gubernur Kalteng dua periode ini.
Di Kalteng katanya, cuma modal SK Menhut 2012, Perda nomor 8 2003 tentang RTRW Kalteng, langsung runtuh.
Dampaknya, rakyat maupun pengusaha blingsatan gara-gara lahannya tiba-tiba menjadi kawasan hutan. "Ini membikin semua jadi porak poranda," ujarnya miris.
Baca juga: KLHK Dituding Sabotase Program Presiden
Di akhir masa jabatan, "Saya masih sempat mendorong kabupaten kota berjuang, tapi tak berdaya menghadapi KLHK. Semua dikuasai pusat," ujarnya.
Apa yang mengemuka di atas tadi, dipertegas lagi oleh juru bicara RJR Petrus Gunarso. Dari hasil riset RJR kata dia, hampir semua tata ruang provinsi di Indonesia bermasalah.
Lelaki ini mengambil contoh lagi, Riau. Di sini disebut ada 2,134 juta hektar sawit yang diklaim ilegal. "Kok dibiarin terlalu lama kayak begitu? Kami bukan mau membela sawit, tapi ingin tata ruang itu benar," katanya.
Dan apa yang terjadi di Riau tadi kata Petrus adalah salah satu contoh dari banyaknya persoalan tanah yang ada di Indonesia.
Ini terjadi kata Petrus lantaran faktanya, penunjukan hutan dilakukan secara tidak masuk akal, tidak disepakati para pihak.
Belakangan, muncul Undang-Undang Cipta Kerja dan turunannya. Tapi yang ditonjolkan oleh KLHK yang kantornya bertetangga dengan gedung DPD/DPR itu justru "ecofacism" --- semangat mendapatkan duit denda banyak-banyak dari keterlanjuran --- bukan mengedepankan "eco developmentalism" dan "eco populism" atau penyederhanaan aturan seperti jantung dan semangat UUCK itu.
Yang paling membikin aneh kata Petrus, ada Perhutanan Sosial 12,7 juta hektar dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) 4 juta hektar.
"Kenapa ini tidak dipakai menyelesaikan persoalan tadi, kenapa tidak dibikin menyelesaikan keterlanjuran? " dia bertanya.
Sekarang kata Petrus, kalau persoalan-persoalan tadi tak kunjung diselesaikan, maka itu akan terus memasung pembangunan.
Lantaran itu kata Petrus, segeralah diselesaikan. "Caranya, bikin kesepakatan baru, bukan di pusat, tapi di daerah. Namanya; Tata Ruang Kesepakatan (TRK)," katanya.
Terus, lakukan pengakuan hak masyarakat, bukan malah menunggu permohonan. "Lakukan inventarisasi menyeluruh dan tunjuk ulang kawasan hutan itu dengan pertimbangan tutupan hutan," pintanya.
Apakah RDP ini menjadi sinyal bahwa UUCK --- khusus perhutanan, tata ruang dan turunannya --- dibikin gegabah dan diboncengi kepentingan asing? Wallahualam.
Komentar Via Facebook :