https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Masyarakat Sipil Minta Kejagung Sasar Grup Usaha dalam Kasus Korupsi Ekspor CPO

Masyarakat Sipil Minta Kejagung Sasar Grup Usaha dalam Kasus Korupsi Ekspor CPO

Para terdakwa korupsi ekspor CPO saat akan menjalani sidang perdana. foto: dok. Kejagung


Jakarta, elaeis.co - Koalisi masyarakat sipil yang beranggotakan Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, Sawit Watch, WALHI, Yayasan Madani Berkelanjutan, dan Indonesia for Global Justice (IGJ), mengapresiasi langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam menangani kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO). Terobosan Kejagung dalam menyusun dakwaan hingga penuntutan dinilai sangat jitu.

"Salah satu bentuk terobosan dalam dakwaan jaksa adalah penerapan unsur kerugian perekonomian negara. Ini nilainya jauh lebih besar dibanding kerugian keuangan negara," sebut perwakilan koalisi sipil dari Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra, dalam keterangan yang dikutip Kamis (21/12).

Ada 5 orang yang terlibat dalam kasus ini. Yakni mantan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana, Tim Asistensi Menko Perekonomian Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari, Stanley MA, serta General Manager Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang.

Tiga perusahaan juga ditetapkan sebagai tersangka, yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim mas Group. Penetapan tersangka korporasi ini dilakukan Kejagung sebagai tindak lanjut atas putusan pengadilan terhadap Indrasari dkk.

Terkait pengusutan tersangka korporasi ini, koalisi sipil memberikan beberapa rekomendasi dan saran kepada Kejagung. Pertama, memberlakukan Pasal 20 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) karena mengadopsi teori pertanggungjawaban pidana korporasi vicarious liability.

Kedua, mengembangkan kasus ini menjadi korupsi kebijakan mengingat Peraturan Menteri Perdagangan tentang Domestic Market Obligation (Permendag DMO) berubah dalam hitungan hari. "Kejagung harus menggali lebih jauh tentang motif pemerintah mengubah kebijakan itu sehingga membuka ruang bagi korporasi untuk bermanuver dalam persetujuan ekspor," katanya.

Menurut Syahrul, kasus ini adalah buntut dari kelangkaan minyak goreng karena pelaku usaha mengejar profit lebih besar melalui ekspor CPO. Berdasarkan penghitungan ahli, negara mengalami kerugian keuangan hingga Rp 6,47 triliun dan kerugian perekonomian hingga Rp 10,09 triliun akibat kasus ini.

"Korporasi ditindak secara terpisah, karena itu jaksa penuntut umum harus memastikan pertanggungjawaban korporasi menyasar grup. Relasi antara perusahaan yang terlibat korupsi ekspor CPO dengan grup perusahaan adalah single economic entity," tandasnya.
 

Komentar Via Facebook :