Berita / Dewandaru /

Inovasi Tak Kenal Sampah

Inovasi Tak Kenal Sampah

Praktisi Pertanian dan Perkebunan, Wayan Supadno. Foto: Ist


Sampai sekarang luas kebun kelapa sawit Indonesia masih nomor satu di dunia, meski di dalam negeri, luas pastinya masih simpang siur (debatable). Yang pasti di atas 16 juta hektar lah. 

Luasan kebun ini telah menyerap tenaga kerja puluhan juta kepala keluarga, baik secara langsung maupun tidak langsung. 

Soal kontribusinya, tak perlu diragukan lagi, pencetak devisa terbesar non migas hingga Rp320 triliun (2018). 

Sawit juga telah berjasa membendung impor solar yang kemudian membikin kocek Negara hemat persis setelah mandatori B30 dijalankan.

Di Eropa dan Amerika, sudah lama sawit jadi pro kontra. Sebetulnya bukan lantaran rakyat di sana tidak suka atau tanaman ini berbahaya bagi kesehatan. 

Tapi justru lantaran 'emas katulistiwa' ini semakin populer saja. Soalnya dibikin apa saja ternyata bisa; mulai dari energi, pangan, kosmetik hingga farmasi. 

Yang membikin mereka yang kontra makin pusing, bahwa sawit menghasilkan Bahan Bakar Nabati (BBN) lima kali lebih banyak dari yang dihasilkan sunflower, rapeesed maupun tanaman lainnya dalam luasan tanam yang sama.

Kenyataan inilah sebenarnya yang membuat sawit menjadi ancaman paling serius bagi masa depan komoditas utama mereka, yang juga sebagai penghasil BBN. 

Beragam cara dilakukan untuk melumpuhkan sawit. Mereka sampai lupa dengan hukum alam bahwa pohon yang sering dihempas angin, akarnya akan semakin kuat. Masa depan sawit pun seperti itu, semakin tegar oleh tantangan.

Buktinya riset turunan sawit makin digenjot. Salah satu hasilnya adalah bahwa sesungguhnya di Eropa, sawit sudah jadi bahan baku utama sumber vitamin A yang hasilnya diekspor ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia. 

Bisa jadi masih banyak lagi inovasi turunan dari sawit yang dirahasiakan oleh negara penelitinya, yang bisa jadi juga salah satu yang menyudutkan sawit itu.

Namun berkat investasi massal riset di berbagai negara tadi, produk turunan sawit yang bernilai ekonomi tinggi semakin banyak ditemukan. 

Ini tentu sangat berdampak pada semakin besarnya permintaan pasar akan Crude Palm Oil (CPO). Jadilah harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) saat ini, tembus di atas Rp2000/kg.

Sekarang, bukan cuma CPO yang jadi obyek riset para ahli di seluruh dunia. Tapi sudah sampai pada produk penyertanya. 

Produk yang dulunya oleh Indonesia dianggap limbah (sampah) belaka. Katakanlah cangkang, bungkil, kayu sisa peremajaan, pelepah dan janjangan kosong.

Gara-gara hasil riset itu, kadar kalori cangkang sawit ternyata setara dengan batubara dan karbon aktifnya bagus untuk pembersih air dan baterai, ramah lingkungan. Cangkang jadi pesaing baru batubara.

Cangkang sudah jadi rebutan industri besar untuk steam boiler, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. 

Di Indonesia, potensi cangkang sawit minimal 250 juta ton TBS/tahun x 10% rendemen = 25 juta ton. Kalau harganya Rp1000/kg maka ini setara dengan omset Rp25 triliun/tahun. Padahal ini cuma sampah.

Bungkil sawit tak kalah hebatnya. Potensi bungkil sawit Indonesia 250 juta ton TBS/tahun x 2% rendemen = 5 juta ton/tahun. 

Kalau harga saat ini Rp1.500/kg, ini setara dengan omset Rp7,5 triliun/tahun. Luar biasa, padahal lagi-lagi ini cuma sampah.

Sampah yang cukup dijadikan tepung atau pelet, kalau diuji mutu proksimat pakan ternak, sudah memenuhi syarat SNI dan bahkan internasional. Sekarang permintaan pasar melambung. 

Soalnya kadar protein 18%, TDN 68%, KA 11%, Lemak 7%. Semua ini pas untuk pakan ternak mutu istimewa. 

Tapi industri pakan ternak di dalam negeri sudah kelabakan lantaran bersaing harga berani mahal dengan para eksportir. 

Tak heran jika kemudian banyak yang kalah, lalu hanya bisa impor hasil akhirnya saja; sapi dan susunya.

Tentu masih sangat banyak lagi rejeki berlimpah untuk masyarakat Indonesia dari sawit, sejalan dengan makin pesatnya lomba riset antar pakar di banyak negara mencari produk turunan sawit supaya nilai tambah laba dan manfaatnya makin banyak lagi.

Lalu apa yang kemudian terjadi, bisa dipastikan pemenangnya adalah mereka yang inovatif. Sebab inovasi berperan penting dalam menekan harga pokok produksi (HPP), biar tetap kompetitif.



 

Wayan Supadno
Komentar Via Facebook :