Berita / Kalimantan /
Konflik Perkebunan Marak di Kaltim, Jalur Hukum Belum Bisa Jadi Solusi
Samarinda, elaeis.co – Ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, hingga aspek ekologis, perkebunan di Kalimantan Timur (kaltim) memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan nasional. Namun dalam pelaksanaannya, usaha perkebunan di Kaltim mengalami hambatan, diantaranya adalah konflik perkebunan yang tergolong tinggi.
Untuk meminimalisir konflik perkebunan yang terjadi, dibutuhkan penanganan khusus yang dapat menghasilkan win win solution.
Dalam rangka penanganan dan penyelesaian konflik perkebunan melalui jalur mediasi, Dinas Perkebunan (Disbun) Kaltim melaksanakan Bimbingan Teknis Mediasi Penanganan Konflik Usaha Perkebunan Tahun 2023.
Pada Februari 2023 terdata jumlah konflik usaha perkebunan di Kaltim sebanyak 48 kasus di 42 perusahaan perkebunan sawit yang terdiri dari 31 kasus lahan dan 17 kasus non lahan.
“Dari 48 kasus tersebut yang menjadi prioritas untuk ditangani oleh Pemerintah Provinsi bersama dengan Pemerintah Kabupaten sebanyak 14 kasus,” ungkap Kepala Disbun Kaltim, Ahmad Muzakkir.
Jenis konflik lahan antara lain konflik perusahaan sawit dengan masyarakat, tumpang tindih izin/peruntukan lahan, okupasi lahan oleh masyarakat, tuntutan masyarakat untuk pengembalian lahan, dan ganti rugi lahan.
Sedangkan konflik non lahan antara lain tuntutan kebun plasma sawit, penolakan HGU oleh masyarakat, pembagian hasil penjualan TBS dan harga TBS kelapa sawit.
"Konflik sektor perkebunan menjadi persoalan yang mendesak untuk segera dicarikan solusi, sebab penundaan penyelesaian akan berakibat pada lemahnya proses penegakan hukum, investasi ekonomi, dan kondisi sosial yang semakin tidak menentu," sebutnya.
Dengan demikian dalam mencari alternatif penyelesaian konflik tersebut, diusahakan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan atau diuntungkan, baik itu pihak perusahaan perkebunan, pemerintah, maupun masyarakat. "Singkatnya, harus menemukan solusi yang baik untuk semua pihak," tegasnya.
Selama ini, lanjutnya, mekanisme penyelesaian konflik umumnya mengarah pada penyelesaian legal formal atau jalur hukum melalui pengadilan. "Ini sering berujung pada ketidakpuasan dari salah satu pihak yang dikalahkan karena putusan pengadilan," sebutnya.
“Alhasil, ini justru membuat konflik berkepanjangan terjadi hingga menimbulkan kerugian materi dan immateri pada para pihak yang berkonflik,” tambahnya.
Salah satu hambatan dalam percepatan penyelesaian konflik adalah kurang tersedianya juru damai atau penengah (mediator) yang benar-benar memiliki pemahaman dan keterampilan untuk melaksanakan mediasi yang baik dan benar.
"Proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses perundingan atau musyawarah. Maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak suatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung, segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak," tutupnya.
Komentar Via Facebook :